Media Arahbaru
Beranda Sosial Budaya 4 Catatan Walhi Tentang Dampak Krisis Lingkungan 2025

4 Catatan Walhi Tentang Dampak Krisis Lingkungan 2025

Arah Baru – Perlindungan terhadap lingkungan hidup yang sehat menghadapi berbagai hambatan, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Dampak kerusakan lingkungan sudah dirasakan melalui fenomena seperti kekeringan, banjir, badai, dan lainnya.

Deputi Eksternal Eksekutif Nasional WALHI, Mukri Friatna, menilai bahwa pemerintah belum menunjukkan keseriusan dalam melindungi lingkungan hidup yang sehat.

Hal ini tercermin dalam kebijakan-kebijakan seperti Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2021 yang memberi kemudahan bagi Proyek Strategis Nasional (PSN).

Beleid tersebut memungkinkan penyelesaian masalah lingkungan hidup melalui kebijakan diskresi Menteri, yang berdampak pada kerusakan ekosistem dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menentang proyek tersebut.

Mukri mencatat ada empat hal penting terkait kebijakan pemerintah yang memperburuk krisis lingkungan, yang diperkirakan akan semakin parah pada 2025.

Salah satunya adalah proyek food estate yang bertujuan untuk ketahanan pangan. Proyek serupa yang dijalankan pemerintah sebelumnya, termasuk pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terbukti gagal.

Menurut Mukri, proyek ini justru memicu konflik agraria, degradasi lahan gambut, dan penggusuran masyarakat adat. Pemerintah menargetkan pengembangan lahan food estate seluas 2 juta hektar di Papua dan 770 ribu hektar di Kalimantan Tengah.

Proyek ini juga berkontribusi terhadap deforestasi dan degradasi lingkungan, ditambah dengan ekspansi perkebunan sawit, pertambangan, dan industri ekstraktif lainnya. 

“Kami memprediksi terjadi peningkatan (deforestasi,-red) sebesar 600 ribuan hektar di tahun 2025,” kata Mukri memaparkan Environmental Outlook 2025 Walhi bertema ‘Melanjutkan Tersesat, Atau Kembali Ke Jalan yang Benar’, Kamis (16/01/2025) kemarin.

Meliputi proyek ketahanan pangan (food estate), pencemaran akibat kegiatan pertambangan, kebijakan yang menimbulkan konflik agraria, dan kriminalisasi.

Kedua, krisis lingkungan akibat pencemaran tambang dan pesisir. Mukri mengatakan pertambangan di kawasan pesisir mengancam 35 ribu keluarga nelayan dengan 3.197 desa pesisir tercemar limbah tambang. Operasi smelter menghasilkan limbah yang berbahaya karena mengandung racun. 

Tercatat 55 pulau kecil telah dikapling untuk tambang mineral dan batubara sehingga merusak ekosistem laut dan kehidupan masyarakat adat. Krisis lingkungan ini akan berlanjut dan meningkat antara lain pencemaran udara, pesisir pantai dan sungai karena dampak operasional smelter.

Ketiga, konflik agraria, Walhi menghitung tahun 2023 sedikitnya terjadi 346 konflik agraria dengan luas area sekitar 638 ribu hektar dan melibatkan 135 ribu keluarga. Konflik diprediksi meningkat tahun 2025 akibat kebijakan pemerintah antara lain UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya yang mempermudah alih fungsi lahan untuk kepentingan investasi.

Keempat, kriminalisasi dan kejahatan lingkungan. Mukri mengkritik Pasal 162 UU No.3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara kerap digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat yang menolak aktivitas pertambangan. Sejumlah kasus kriminalisasi yang menuai sorotan antara lain menimpa 12 nelayan di Provinsi Bangka Belitung, menerima surat panggilan polisi setelah menolak aktivitas kapal isap pasir PT Timah karena merusak lingkungan laut. 

“Penolakan dianggap menghalangi aktivitas pertambangan, mengakibatkan para nelayan itu dikenakan sanksi pidana,” urainya.

Kemudian 3 warga desa Alasbuluh di Banyuwangi, Jawa Timur dikriminalisasi karena menolak tambang galian C, dijatuhi sanksi 3 bulan penjara. Selanjutnya 3 warga pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, menerima panggilan Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara dengan tuduhan menghalangi aktivitas pertambangan nikel PT Gema Kreasi Perdana. 

Di pulau Jawa yang tercatat terjadi di Yogyakarta, sebanyak 18 warga Paguyuban Masyarakat Kali Progo dipanggil polisi atas tuduhan menghalangi aktivitas tambang pasir. Tak hanya masyarakat, aktivis lingkungan hidup juga dikriminalisasi antara lain menimpa Direktur Walhi bengkulu, Abdullah Ibrahim Ritonga, dipanggil polisi setelah mendampingi masyarakat Desa Pasar Seluma menolak tambang pasir besi PT FLBA.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Divisi Public Engagement Walhi, Adam Kurniawan, krisis lingkungan menyebabkan lokasi sekitar PSN rawan bencana. Salah satunya banjir di Morowali yang intensitasnya semakin meningkat sejak wilayah itu sebagai pusat industri nikel (Indonesia Morowali Industrial Park). Begitu pula yang terjadi di Halmahera Tengah, Maluku Utara, banjir besar melanda sedikitnya 6 desa. 

“Kebijakan PSN, terutama proyek hilirisasi nikel mengakibatkan bencana,” bebernya.

Adam menekankan hampir seluruh proyek PSN tak memiliki dokumen memadai terkait potensi bencana. Terutama PSN yang menggarap industri pertambangan dan bendungan rentan menghadapi bencana. 

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

error: Content Dilindungi Undang Undang Dilarang Untuk Copy!!