Media Arahbaru
Beranda Sosial Budaya Mahkamah Konstitusi Putuskan Agama dan Kepercayaan Syarat Sah Nikah di Indonesia

Mahkamah Konstitusi Putuskan Agama dan Kepercayaan Syarat Sah Nikah di Indonesia

Arah Baru – Agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa ditegaskan Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan elemen mendasar yang tidak dapat diabaikan dalam syarat sahnya perkawinan di Indonesia.

Hal ini disampaikan saat MK memutus perkara terkait Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).

“Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah unsur mutlak dalam perkawinan,” ucap Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam pembacaan putusan Nomor 146/PUU-XXII/2024 di Jakarta, Jumat (3/1/2025).

Perkara ini diajukan oleh dua warga negara, Raymond Kamil dan Teguh Sugiharto, yang mengaku tidak memeluk agama atau kepercayaan tertentu.

Mereka mempersoalkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah jika dilakukan sesuai hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

Aturan ini menurut Raymond dan Teguh membatasi hak mereka untuk membentuk keluarga secara sah karena norma tersebut tidak mengakomodasi warga yang memilih untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Menanggapi dalil tersebut, MK menegaskan, prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan bagian integral dari identitas bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

“Beragama dan berketuhanan bukan hanya kebutuhan, tetapi juga mencerminkan karakter bangsa. Oleh karena itu, tidak adanya ruang bagi warga negara untuk tidak beragama atau tidak memiliki kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pembatasan yang proporsional dan tidak bersifat diskriminatif,” tegas Arief.

MK juga menyatakan bahwa perkawinan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasal 1 UU Perkawinan bahkan menyebut bahwa perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan.

Lebih lanjut, MK memandang bahwa perkawinan merupakan salah satu bentuk ekspresi keagamaan atau kepercayaan (forum eksternum) yang berada dalam ranah publik.

Oleh karena itu, negara memiliki kewenangan untuk menentukan tata cara dan syarat-syarat sahnya.

“Negara menyerahkan keabsahan perkawinan kepada agama dan kepercayaan masing-masing individu. Ini bukan bentuk diskriminasi, tetapi konsistensi dengan prinsip hukum positif yang berlaku di Indonesia,” jelas Arief.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK menolak seluruh gugatan Raymond dan Teguh terkait Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. MK menilai dalil keduanya tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Tidak hanya itu, permohonan Raymond dan Teguh untuk menguji sejumlah undang-undang lain, seperti UU KUHP baru, UU HAM, UU Administrasi Kependudukan, dan UU Sistem Pendidikan Nasional, juga ditolak oleh MK karena dianggap tidak beralasan secara hukum.

Putusan ini sekaligus mempertegas posisi hukum Indonesia bahwa perkawinan adalah institusi yang tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai keagamaan dan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

error: Content Dilindungi Undang Undang Dilarang Untuk Copy!!