Membela Tempo, Membela Demokrasi Kita

Arah Baru – Kiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor redaksi Tempo bukan sekadar aksi kriminal biasa. Ia adalah teror yang menyasar jantung demokrasi: kebebasan pers.
Aksi ini tidak berdiri sendiri, tapi muncul dari atmosfer kebebasan sipil yang makin menyempit. Teror semacam ini adalah bentuk kekerasan simbolik, pesan untuk membungkam, dan ancaman terhadap hak publik untuk tahu.
Dalam negara demokrasi, pers bukan pelengkap. Ia adalah institusi kunci dalam membangun opini publik dan mengontrol kekuasaan.
Jürgen Habermas, dalam The Structural Transformation of the Public Sphere, menyebut media sebagai medium vital bagi ruang publik tempat warga negara berdialog dan membentuk opini bersama. Jika media dibungkam, ruang publik pun dikosongkan.
Demokrasi Membutuhkan Pers yang Bebas
Thomas I. Emerson, dalam bukunya The System of Freedom of Expression (1970), menulis bahwa kebebasan berekspresi adalah mekanisme dasar demokrasi.
Pers berperan menyampaikan informasi, menjadi saluran kritik, dan menjembatani rakyat dengan kekuasaan. Ketika pers diteror, bukan hanya media yang diserang, tapi seluruh sistem demokrasi yang terancam.
Apa yang dialami Tempo seharusnya membuat kita sadar bahwa demokrasi tidak mati dalam satu malam. Ia mati pelan-pelan, saat intimidasi dibiarkan, saat teror dianggap biasa, dan saat rasa takut tumbuh di ruang-ruang redaksi.
Michael Schudson, dalam Why Democracies Need an Unlovable Press (2008), menegaskan bahwa pers yang baik bukanlah yang menyenangkan, tapi yang bersikap kritis, menyusahkan penguasa, dan kadang tidak populer. Justru di situlah letak fungsinya. Maka ketika teror terjadi karena sikap kritis media, itu tandanya pers menjalankan tugasnya dengan benar.
Teror terhadap media adalah bagian dari politik ketakutan. Ia bukan sekadar pesan kepada satu redaksi, tetapi kepada seluruh ekosistem pers: jangan terlalu berani, jangan menyentuh yang sensitif. Ini adalah bentuk kontrol informal yang lebih berbahaya daripada undang-undang represi.
Negara Tidak Boleh Diam
Negara tidak bisa mengambil sikap netral dalam kasus ini. Dalam sistem hukum demokratis, negara wajib melindungi kebebasan berekspresi.
Penegakan hukum terhadap pelaku teror menjadi indikator komitmen negara pada demokrasi. Ketika negara membiarkan intimidasi terhadap media tanpa konsekuensi, maka yang sedang dilegalkan bukan hanya kekerasan, tapi pembungkaman.
Kebebasan pers bukan hadiah dari penguasa. Ia adalah hak rakyat yang dijamin konstitusi. Maka membela pers bukan semata membela jurnalis, tapi membela hak publik untuk tahu, membela hak warga untuk kritis, dan membela demokrasi agar tetap hidup.
Saat ini, kita menghadapi pilihan: membiarkan rasa takut menelan ruang publik, atau merawat keberanian untuk terus bersuara. Demokrasi tidak bisa hidup dalam ketakutan. Teror harus dilawan, bukan dengan kekerasan, tapi dengan solidaritas, dengan hukum, dan dengan keteguhan untuk tetap bersuara.
Kita tidak hanya sedang membela Tempo. Kita sedang membela masa depan demokrasi kita sendiri.
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now