Pemerintah Diminta Belajar dari Masyarakat Adat Ciptagelar Soal Ketahanan Pangan
Arah Baru – Pemerintah Indonesia diharapkan lebih serius dalam memperkuat ketahanan pangan nasional dengan belajar dari kearifan lokal yang telah terbukti efektif dalam menjaga keseimbangan alam dan menyediakan pangan secara berkelanjutan.
Hal ini disampaikan oleh Hamid Maulana Bakri, Sekretaris Bidang Advokasi Lembaga Agraria & Hubungan Industrial (LAGRIAL), yang menyoroti keberhasilan Masyarakat Adat Kesepuhan Ciptagelar di Sukabumi, Jawa Barat, sebagai contoh nyata dalam menjaga ketahanan pangan berbasis kearifan lokal.
“Masyarakat Adat Kesepuhan Ciptagelar telah lama menjadi acuan dalam hal ketahanan pangan. Mereka mengandalkan praktik tradisional yang telah diwariskan turun-temurun, seperti sistem ladang berpindah dan pemanfaatan tanaman lokal, serta menjaga keseimbangan ekosistem tanpa mengeksploitasi alam secara berlebihan,” ujar Hamid pada Sabtu (17/08/2024).
Masyarakat Adat Ciptagelar yang berada di kawasan Pegunungan Halimun-Salak memiliki sistem pertanian yang lestari dan berkelanjutan. Meskipun berada di daerah terpencil, mereka mampu memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri tanpa bergantung pada pasokan dari luar.
Menurut Hamid, pendekatan seperti ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dalam menghadapi krisis pangan global yang semakin mengancam.
Hamid juga mengkritisi pendekatan modern yang sering kali bersifat eksploitatif dan tidak memperhatikan dampak lingkungan jangka panjang.
“Pertanian intensif yang berorientasi pada produksi massal sering kali mengabaikan degradasi tanah, hilangnya keanekaragaman hayati, dan ketergantungan pada bahan kimia. Padahal, pendekatan berbasis kearifan lokal seperti yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Ciptagelar, mampu menciptakan ketahanan pangan dengan harmonisasi alam,” lanjutnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah meluncurkan berbagai program untuk meningkatkan produksi pangan, seperti program Food Estate, serta pembangunan infrastruktur pertanian.
Namun, Hamid menilai bahwa aspek keberlanjutan jangka panjang dan peran kearifan lokal masih sering diabaikan dalam kebijakan-kebijakan tersebut.
Hamid juga menyoroti kerentanan ketahanan pangan di Indonesia yang masih sangat bergantung pada fluktuasi harga pangan global dan perubahan iklim.
“Ketika terjadi krisis pangan global, kebijakan pemerintah cenderung mendorong ketergantungan pada impor dan komoditas tertentu, bukannya memperkuat ketahanan pangan di tingkat lokal. Padahal dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat luas,” ujarnya.
Ditegaskannya, kebijakan ketahanan pangan sering kali tidak memperhatikan disparitas regional. Menurutnya, wilayah terpencil dan kepulauan masih mengalami kesulitan akses pangan yang memadai.
Kebijakan yang berpusat pada perkotaan dan daerah tertentu sering kali mengabaikan kebutuhan dan potensi wilayah lain yang sebenarnya bisa berkontribusi besar dalam mencapai ketahanan pangan nasional.
Lebih lanjut, Hamid mendesak pemerintah untuk segera melakukan evaluasi dan mengubah pendekatan kebijakan ketahanan pangan.
“Ketahanan pangan bukan hanya soal produksi, tetapi juga soal keadilan, keberlanjutan, dan kemandirian. Tanpa memperhatikan aspek-aspek ini, kebijakan ketahanan pangan hanya akan menjadi solusi jangka pendek yang tidak mampu menghadapi tantangan di masa depan,” tegasnya.
Dalam rangka memperingati HUT ke-79 Kemerdekaan Indonesia, Hamid berharap pemerintah dapat lebih serius belajar dari Masyarakat Adat Kesepuhan Ciptagelar untuk memastikan ketahanan pangan jangka panjang bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)