Joko Pinurbo Wafat di Usia 61, Ini Profilnya
Arah Baru – Joko Pinurbo alias Jokpin wafat pada Sabtu (27/04/2024) pukul 06.03 WIB di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Ia wafat pada usia 61 tahun.
Jokpin meninggalkan seorang istri bernama Nurnaeni Amperawati. Selain itu, dia meninggalkan 5 orang adik, 3 anak, dan 4 cucu.
Kabar tersebut meninggalkan duka yang mendalam bagi dunia sastra Indonesia. Seperti diketahui, sosok Jokpin telah memberi warna tersendiri bagi sastra Indonesia.
Karya Jokpin yang sederhana dan dekat dengan kehidupan manusia, banyak digandrungi para anak muda. Detik.com menggambarikan puisi Jokpin sebagai perpaduan antara narasi, humor, dan ironi.
Dalam karyanya, Jokpin piawai memainkan kata dan mengolah citra yang mengacu pada peristiwa dan objek sehari-hari dengan bahasa yang cair tapi tajam.
Kabar wafatnya Jokpin tersebut banyak dikabarkan oleh rekan sejawat. Butet Kartaredjasa dalam akun Facebook menuliskan “Sumangga Gusti”.
Sedangkan Goenawan Mohamad dalam akun X menuliskan kabar wafatnya Jokpin.
“Tuhan yang merdu, terimalah kicau burung dalam kepalaku” // Djoko Pinurbo, penyair utama kita, meninggal pagi ini di Yogya dalam usia 62. Puisinya yang tenang dan sederhana, tak mudah dilupakan. RIP,” tulis Goenawan.
Berdasarkan selebaran yang diterima redaksi, Jokpin akan disemayamkan di PUKY, Sonosewu Kasihan, Bantul.
Almarhum Jokpin akan dimakamkan pada Minggu (28/04/2024) di Pemakaman Demangan, Wedomartani, Sleman pada pukul 10.00 WIB.
Profil Joko Pinurbo
Joko Pinurbo memiliki nama asli Philipus Joko Pinurbo. Ia lahir pada tanggal 11 Mei 1962 di Sukabumi, Jawa Barat.
Sejak kecil, ia memiliki perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan, terutama karena latar belakang keluarganya yang berasal dari kalangan pendidik, di mana kedua orang tuanya adalah guru di Sekolah Dasar (SD).
Sejak masa belia, Jokpin sudah aktif dalam dunia menulis dan membaca karya sastra. Ia mulai menulis puisi sejak masih bersekolah di SMA dan terus mengembangkan bakatnya dengan mengirimkan tulisan-tulisannya ke majalah.
Setelah menyelesaikan pendidikan tinggi jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, nama Jokpin mulai diperhitungkan di dunia sastra Indonesia.
Salah satu karyanya yang mengangkat tema sehari-hari, seperti tentang celana atau sarung, dieksekusi dengan keindahan yang apik, membantu memperkuat identitas sastranya.
Karya-karya Jokpin seringkali mengaitkan kehidupan sehari-hari dengan objek-objek yang dikenal banyak orang, seperti telepon, kamar mandi, sarung, dan sebagainya.
Keunikan ini juga dipadukan dengan penggunaan kata-kata yang sarat makna namun mudah dipahami serta memiliki sentuhan humor yang khas.
Selama hidupnya, Jokpin telah menulis ratusan puisi yang banyak diantaranya telah dibukukan dan dinikmati oleh pembaca sastra di dalam dan luar negeri.
Beberapa karyanya yang terkenal antara lain “Celana,” “Di Bawah Kibaran Sarung,” “Pacarkecilku,” “Telepon Genggam,” “Pacar Senja: Seratus Puisi Pilihan,” dan masih banyak lagi.
Atas dedikasinya dalam dunia kepenyairan, Jokpin telah menerima berbagai penghargaan, seperti Penghargaan Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta (2001), Hadiah Sastra Lontar (2001), Tokoh Sastra Pilihan Tempo (2001, 2012), Penghargaan Sastra Badan Bahasa (2002, 2014), Kusala Sastra Khatulistiwa (2005, 2015), South East Asian (SEA) Write Award (2014), dan penghargaan lainnya.
Karya-karya Jokpin juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Inggris, Jerman, Rusia, hingga Mandarin.
Puisi-Puisi Joko Pinurbo
Berikut ini adalah beberapa puisi karya Joko Pinurbo
Buku Latihan Tidur
Malam-malam ia suka bermain kata
bersama buku latihan tidur. Buku latihan tidur
memintanya terpejam dan tersenyum
sambil membayangkan bahwa di ujung tidur
ada sungai kecil yang merdu. Buku latihan tidur
kemudian mengucapkan sebuah kalimat dan ia balas
dengan kalimatnya sendiri. Begitu seterusnya
sampai buku latihan tidur mengantuk
dan tak sanggup berkata-kata lagi.
Gantungkan cita-citamu setinggi gunung.
Gantungkan terbangmu pada sayap burung-burung.
Rajin pangkal pandai.
Jatuh pangkal bangun.
Anak kucing lari-lari.
Anak hujan mencari kopi.
Hujan menghasilkan banjir.
Hujan melahirkan pelukan-pelukan yang berbahaya.
Mandilah sebelum dingin tiba.
Cantiklah sebelum lipstik tiba.
Mataharimu terbit dari timur.
Matahariku terbit dari matamu.
Buanglah sampah pada tempatnya.
Buanglah benci ke tempat sampah.
Surga ada di telapak kaki ibu.
Kaki ibu mengandung pegal-pegal kakiku.
Apa agamamu?
Agamaku air yang membersihkan pertanyaanmu.
Tuhan, aku sayang kamu.
Sayangku padamu terbuat dari hati yang sering mati.
Tuhan tidak tidur.
Tuhan menciptakan tidur.
Buku latihan tidur pun tertidur, kata-kata
tertidur, dan ia minta selamat kepada tidur.
Tidur: alamat pulang paling pasti ketika kata-kata
kehabisan isi dan tak tahu lagi ke mana akan
membawamu pergi. Tidur: mati sunyi di riuh hari.
Di subuh yang kosong buku latihan tidur
mendapatinya sudah menjadi kepompong.
Kolom Agama
Tidak mudah menemukanmu di kolom agama.
Bahkan di kolom itu kau belum tentu ada.
Maka aku pergi menemuimu di sebuah kolom tersembunyi, kolom yang terlihat oleh negara.
Kau memandangku dengan gentar.
Mungkin kau mengira aku akan menanyakan agamamu.
Atau kau menduga aku akan mengancammu: ”Bukan kau yang memilih, melainkan aku yang menentukan, agamamu!”
Pelan-pelan aku mendekat, mendekati takutmu: ”Ini kolom cinta, bukan kolom agama. Di kolom ini agama adalah ciuman indah tak bernama, pelukan penyembuh luka.”
Kauberikan selembar KTP padaku; kuisi kolom agama di KTP-mu dengan agamaku.
Berapa agamamu?
Jawabmu adalah kumandang yang melampaui agama ketika magrib tiba.
Kepada Uang
Uang berilah aku rumah yang murah saja,
yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku,
yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku
Sabar ya, aku harus menabung dulu. Menabung laparmu, menabung mimpimu. Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu.
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja,
yang cukup hangat buat merawat encok-encokku,
yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku.