Kurangnya Efektivitas Seruan Denuklirisasi G7 Terhadap Korea Utara

Oleh : Rahmad Cherry
(Mahasiswa S1 Prodi Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
JAKARTA – Kehadiran Korea Utara sebagai salah satu negara pemilik senjata nuklir sering menjadi perhatian besar politik internasional, terutama bagi negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan sekutunya. Bagaimana tidak, uji coba nuklir yang sering dilakukan oleh Korea Utara membuat negara-negara tetangganya larut akan kekhawatiran dan kecemasan akan kondisi keamanan negara mereka terhadap nuklir Korea Utara.
Korea Selatan dan Jepang yang merupakan sekutu Amerika Serikat tentu menjadi negara yang paling sering mengecam Korea Utara, bahkan kecaman ini pada akhirnya mengundang Amerika Serikat untuk turut serta dalam mengecam Korea Utara.
Para menteri luar negeri negara-negara G7 yang terdiri dari Kanada, Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Italia, Inggris, dan Jepang melakukan pertemuan pada Selasa, 18 April 2023 lalu.
Pada pertemuan tersebut, para menteri luar negeri G7 secara tegas mengecam tindakan peluncur rudal balistik antarbenua serta menuntut Korea Utara untuk meninggalkan kepemilikan senjata nuklir yang dianggap melanggar hukum (Diplomacy, 2023) .
Desakan denuklirisasi G7 ini, direspon dengan tegas oleh Menteri Luar Negeri Korea Utara, Choe Son Hui, dengan mengancam akan menggunakan senjata nuklirnya secara lebih praktis dan ofensif, dan bahwa kepemilikan kekuatan nuklir Korea Utara merupakan suatu hal yang final dan tidak dapat diubah meskipun negara-negara Barat dan sekutu menolaknya.
Korea Utara juga menganggap G7 telah mencampuri urusan dalam negeri secara paksa dan ilegal dengan adanya tuntutan denuklirisasi ini (Shin, 2023) . Berhenti menuntut dan fokus pada perbaikan diplomasi Tuntutan pemberhentian senjata nuklir kepada Korea Utara tentu merupakan hal yang sia-sia dan tentu akan ditolak mentah-mentah oleh Korea Utara.
Seperti apa yang telah disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri Korea Utara, bahwa pengembangan senjata seperti nuklir di Korea Utara jelas dimaksudkan untuk melindungi diri dan bertahan dari ancaman Amerika Serikat.
Pada September 2022 lalu, Kim Jong-un secara tegas melalui Sidang Rakyat Tertinggi bahwa Korea Utara tidak akan pernah meninggalkan statusnya sebagai negara pemilik nuklir, dan tidak akan ada negosiasi akan hal itu di masa depan.
Menurut laporan dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), hal ini menandakan bahwa negosiasi terkait terhadap denuklirisasi akan sangat sulit untuk dilakukan di masa depan atau bahkan mustahil, sehingga ini juga berarti efektivitas seruan denuklirisasi tidak akan berdampak signifikan atau mungkin sangat kecil (Kim, 2022) .
Amerika Serikat juga terus bertindak ofensif dalam melakukan kerjasama dan mencapai kepentingannya di ranah internasional, termasuk di kawasan Asia-Pasifik (Wenzhao, 1999) . Kehadiran Amerika Serikat dengan bertindak ofensif tentunya membuat Korea Utara merasa terancam, sehingga respon yang diberikan oleh Korea Utara yaitu dengan meningkatkan kekuatan persenjataan dan militernya agar dapat bertahan dari ancaman Amerika Serikat.
Hal ini juga diperparah dengan berbagai tindakan kecaman yang dilakukan oleh Amerika Serikat kepada Korea Utara terkait kepemilikan senjata nuklir, membuat Korea Utara pada akhirnya terus meningkatkan keamanannya dari kecaman Amerika Serikat dan sekutunya.
Melihat respon dari Korea Utara tersebut, masuk akal jika Korea Utara menolak dengan tegas tuntutan G7 terkait denuklirisasi Korea Utara, karena hal tersebut akan dapat mengancam keamanan nasional Korea Utara terhadap kehadiran Amerika Serikat. Sehingga jelas tuntutan ini hanya akan berakhir sia-sia dan tidak memiliki dampak yang signifikan.
Korea Utara juga menjelaskan bahwa setidaknya ada 5 kondisi yang membuat mereka akan menggunakan senjatan nuklir tersebut.
(1) Ketika terjadi atau akan terjadi serangan nuklir atau senjatan pemusnah massal;
(2) ketika terjadi atau akan terjadi serangan terhadap pimpinan dan badan komando kekuatan nuklir Korea Utara;
(3) ketika terjadi atau akan terjadi serangan militer yang mematikan terhadap
sasaran strategis Korea Utara;
(4) ketika secara operasional tidak dapat dihindari
untuk mencegah perang dan mengambil keputusan saat-saat darurat; dan
(5) ketika terjadi situasi yang menyebabkan krisis yang besar terhadap eksistensi dan kesalamatan rakyat Korea Utara (Kim, 2022)
Dari kelima alasan tersebut, dapat dilihat bahwa Korea Utara memanfaatkan nuklir sebagai bentuk defensif akan ancaman-ancaman yang mungkin hadir terhadap stabilitas keamanan negaranya, terutama dari Amerika Serikat dan sekutunya yang selalu mengecam Korea Utara.
Usaha-usaha pengecaman yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya hanya akan terus membuat Korea Utara menganggap mereka sebagai musuh serta memperpanjang konflik terhadap kepemilikan nuklir Korea Utara.
Maka hal yang paling dimungkinkan saat ini adalah melakukan diplomasi secara terbuka kepada Korea Utara. Jika negara-negara G7 ingin Korea Utara meredam pengembangan senjata nuklirnya, maka G7 harus terlebih dahulu berhenti melakukan kecaman demi kecaman terhadap Korea Utara, karena hal ini hanya akan membuat Korea Utara menganggap G7 sebagai sebuah ancaman atau musuh, sehingga sulit untuk melakukan diplomasi.
Negara-negara G7 juga harus sedikit menurunkan skeptis terhadap kepemilikan nuklir Korea Utara, sehingga G7 akan dapat lebih mudah untuk terbuka dengan Korea Utara, begitupun bagi Korea Utara.
Kegagalan diplomasi dan negosiasi nuklir oleh Amerika Serikat terhadap Korea Utara sangat dipengaruhi oleh faktor ketidakpercayaan dan kecurigaan Korea Utara terhadap Amerika Serikat. Amerika Serikat juga dianggap gagal dalam berkomitmen kepada Korea Utara dalam negosiasi mereka, sehingga Korea Utara semakin kecewa akan kurangnya itikad baik Amerika Serikat (Smith, 2019) .
Diplomasi terbuka dengan memfokuskan pada membangun kepercayaan dari masing-masing pihak, diharapkan baik G7 maupun Korea Utara dapat saling memahami kepentingan masing-masing dengan berdialog secara damai dan terbuka. Sehingga, diplomasi ini akan lebih nyata dan berdampak, setidaknya
meredam konflik kepemilikan nuklir Korea Utara yang berkepanjangan.
Referensi
Diplomacy, F. (2023, April 18). G7 Japan 2023 – Foreign Ministers’ Communique (18
April 2023). Retrieved from France Diplomacy:
https://www.diplomatie.gouv.fr/en/french-foreign-policy/global-
challenges/news/article/g7-japan-2023-foreign-ministers-communique-april-
18-2023#sommaire_6
Kim, E. (2022, September 9). North Korea States It Will Never Give Up Nuclear
Weapons. Retrieved from CSIS: https://www.csis.org/analysis/north-korea-
states-it-will-never-give-nuclear-weapons
Shin, H. (2023, April 21). North Korea criticises G7 over call for denuclearisation.
Retrieved from Reuters: https://www.reuters.com/world/asia-pacific/north-
korea-accuses-g7-interference-by-calling-denuclearisation-2023-04-20/
Smith, M. A. (2019). Denuclrearising North Korea: Evaluating the United State’s
Culpability for Failed Agreements, 1993-2008. Diplomacy & Statecraft, 556-
575.
Wenzhao, T. (1999). U.S. interest in the Asia-Pacific region. A Journal of Social
Justice, 423-429.