Pendidikan Militer Bukan Solusi Kenakalan Remaja

Arah Baru – Dosen Prodi Digital Neuropsikologi Universitas Insan Cita Indonesia (UICI), Lucy Lidiawati Santioso akrab disapa Bunda Lucy, mengkritisi pendekatan pendidikan militer terhadap remaja bermasalah.
Bunda Lucy menegaskan bahwa pendekatan militer tidak menyelesaikan akar masalah kenakalan remaja, bahkan berisiko menimbulkan trauma psikologis yang lebih dalam.
“Sebenarnya kalau kita lihat remaja, itu kan di bawah 18 tahun kalau menurut undang-undang. Dan sesuai dengan tahap perkembangan psikologi pun, sampai usia 17–18 tahun itu masuk remaja,” kata Bunda Lucy sebagaimana dikutip dari website uici.ac.id.
Menurutnya, kenakalan remaja umumnya berakar dari trauma yang dialami sejak kecil. Oleh karena itu, penanganannya tidak bisa dilakukan dengan pendekatan kekerasan atau kedisiplinan instan seperti di pendidikan militer.
Ia menjelaskan bahwa anak-anak bukanlah miniatur orang dewasa yang dapat diperlakukan sama. Mereka masih dalam tahap perkembangan psikologis dan emosional yang kompleks.
Pendidikan militer, lanjutnya, cenderung menekankan kepatuhan tanpa ruang dialog, yang justru bisa memperburuk kondisi mental remaja.
“Kalau di militer itu kan memang ya kepatuhannya ada, tapi itu bersifat instan dan menekankan kepatuhan tanpa ruang dialog. Ini menyebabkan resiko trauma buat anak-anak,” terang Bunda Lucy.
Berdasarkan sejumlah literatur, Bunda Lucy menambahkan bahwa program bootcamp militer tidak terbukti efektif mengurangi tingkat kenakalan atau residivisme.
“Bahkan menyebabkan trauma psikologis berkelanjutan karena kekerasan dan pengabaian yang mereka alami itu diulangi lagi di camp militer,” katanya.
Dalam praktiknya sebagai psikolog anak dan remaja, Bunda Lucy melihat bahwa latar belakang keluarga dan lingkungan sangat memengaruhi perilaku anak.
“Saya nggak percaya istilah, oh dia baik-baik saja tapi kemudian jadi kenakalan remaja. Pasti ada sesuatu dalam keluarganya. Akarnya yang harus kita carikan,” tuturnya.
Ia menekankan pentingnya lingkungan yang suportif, dialogis, dan aman sebagai syarat utama bagi perubahan perilaku remaja.
“Remaja itu butuh sekali yang namanya didengarkan. We listen but don’t judge,” jelasnya.
Menurutnya, pencegahan jauh lebih penting daripada penanganan yang reaktif. Salah satunya dengan memberikan “imunisasi” sejak dini dalam bentuk pendidikan karakter dan nilai-nilai spiritual.
“Spiritualitas itu bukan soal agama, tapi soal kesadaran terhadap Yang Maha Esa. Anak-anak yang merasa membacok atau membunuh itu biasa, itu karena nilai dan norma tidak pernah diajarkan sejak dini,” katanya.
Ia juga menyoroti peran media dan lingkungan yang kerap menormalisasi perilaku agresif, termasuk melalui pola asuh orang tua yang salah.
“Orang tua yang memukul anak lalu mengatakan ‘karena kamu bandel, makanya mama pukul’, itu menanamkan belief bahwa kekerasan itu wajar,” ujar Bunda Lucy.
Bunda Lucy menegaskan bahwa solusi kenakalan remaja tidak bisa dipukul rata.
“Cari dulu akarnya, baru penanganannya bisa diketahui apa yang tepat,” pungkasnya. (*)
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now