Perbedaan Pendapat dalam Sholat dan khutbah Ied
Oleh: Muh. Nursalim
Arah Baru – Pada zaman Marwan bin Hakam, khalifah bani Umayah ke empat. Khutbah idul fitri itu dilakukan sebelum sholat ied. Seperti pada sholat jum’at. Abu Sa’id Al Khudri memprotesnya.
“Mengapa anda merubah sunah Nabi saw ?” tanya sahabat itu.
“Kalau saya khutbah setelah sholat, jamaah pada bubar” Jawab sang Khalifah.
Menurut kesaksian sejumlah sahabat Nabi saw. Rasulullah selalu mendahulukan sholat ied baru kemudian khutbah. Sebagaimana hadis berikut ini.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ السَّائِبِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ « إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
Dari Abdullah bin Saib ra, ia berkata, “Aku hadir bersama Rasulullah saw pada ibadah sholat ied. Setelah sholat beliau bersabda. Kami khutbah, siapa yang suka mendengarkan agar tetap duduk dan siapa yang ingin pergi silahkan pergi”. (HR. Abu Dawud)
Perilaku Rasulullah saw terserbut diikuti oleh para khulafaurrasyidin. Seperti penuturan Ibn Umar berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ – رضى الله عنهما – يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
Dari Ibnu Umar ra, ia berkata. Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar sholat idul fitri sebelum melakukan khutbah. (HR. Bukhari)
Karena itu bila membaliknya. Dengan mendahulukan khutbah sebelum sholat berarti telah menyelisihi apa yang dilakukan oleh utusan Allah tersebut.
Kemudian. Seringkali kita mendengar khutbah ied diawali dengan takbir. Karena adanya hadis di bawah ini.
كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يُكَبِّرُ بَيْنَ أَضْعَافِ الْخُطْبَةِ يُكْثِرُ التَّكْبِيرَ فِى خُطْبَةِ الْعِيدَيْنِ
Nabi saw melafalkan takbir di tengah-tengah khutbah, memperbanyak takbir pada khutbah ied fitri dan idul adha. (HR. Ibnu Majah)
Menurut Ibnu Qayim, hadis tersebut tidak berarti mengawali khutbah dengan takbir. Sebab Nabi mengawali semua khutbah dengan membaca hamdalah. Bukan takbir. Maka di sela-sela khutbah, sebaiknya khatib membaca takbir.
Tetapi menurut Sulaiman Rasyid dalam kitab Al Fiqh Al Islam. Khutbah ied itu diawali dengan membaca takbir sembilan kali. Di samping itu khutbahnya dua kali. Diantara khutbah pertama dengan yang kedua diselingi duduk. Namun menurut Sayid Sabiq dalam kitab Fiqhus Sunah, khutbah ied itu cukup sekali. Tidak ada selingan duduk. Ini sejalan dengan pendapat Imam Nawawi, “tidak ada penetapan dalam mengulangi khutbah dengan sesuatu apapun”.
Untuk teknis sholat ied. Sunah setelah takbiratul ihram membaca takbir tujuh kali dengan mengangkat kedua tangan. Dan pada rakaat kedua setelah membaca takbir lima kali dengan mengangkat kedua tangan. Hal ini sesuai hadis berikut:
مِنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَبَّرَ فِى عِيدٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ تَكْبِيرَةً سَبْعاً فِى الأُولَى وَخَمْساً فِى الآخِرَةِ
Dari Amr bin Syuaib dari bapaknyaa dari kakeknya, sesungguhnya Nabi saw takbir pada kedua hari raya duabelas kali takbir. Tujuh di rakaat pertama dan lima di rekaat terakhir. (HR. Ahmad)
Dalam kitab Fiqhus Sunah, disebutkan bahwa Nabi saw diam sebentar diantara takbir-takbir yang dibaca. Dan tidak mengisinya dengan lafal zikir tertentu. Inilah yang dipedomani Imam Malik dan Abu Hanifah. Tetapi menurut Ahmad dan Syafii sebaiknya diantara takbir itu membaca zikir ringan. Seperti Subhanallah wal hamdulillah wala ilaha illa Allah wallahu akbar. Sebagaimana dikatakan dalam Subulus Salam berikut:
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ قَالَ : يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ وَيُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَخْرَجَ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْكَبِيرِ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ { أَنَّ بَيْنَ كُلِّ تَكْبِيرَتَيْنِ قَدْرَ كَلِمَتَيْنِ }
Dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya ia berkata, bersyukur dan memuji Allah serta bershalawat kepada Nabi saw. Dan Tabrani meriwayatkan dalam Mu’jam Kabir dari Ibnu Mas’ud, bahwa antara dua takbir itu kira-kira dua kalimat.
Takbir tujuh kali dan lima kali itu hanya sunah. Jika imam lupa tidak membacanya, tidak perlu melakukan sujud sahwi (sujud karena lupa). Itulah yang dikatakan Huzaifah, Abu Musa, Ibnu Qudamah juga dikuatkan Imam As Syaukani.
Dalam Fiqhus Sunah, dikatakan bahwa selama hayatnya Rasulullah saw melakukan sholat ied di tanah lapang yang disebut musholla. Hanya satu kali beliau melakukanya di masjid, karena saat itu sedang hujan. Sebagaimana hadis berikut:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ { : أَنَّهُمْ أَصَابَهُمْ مَطَرٌ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَصَلَّى بِهِمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْعِيدِ فِي الْمَسْجِدِ
Dari Abu Hurairah ra, bahwa saat itu hujan di hari ied. Maka Nabi saw bersama para sahabat sholat ied di masjid.
Pada kitab Subulus Salam, hadis ini diberi penjelasan. Bahwa menurut Imam Syafii. Alasan atau illat dilakukan sholat di tanah lapang itu adalah karena sempitnya masjid. Tidak mampu menampung jamaah yang begitu banyak. Maka menurut beliau, jika masjid cukup untuk menampung jamaah yang membludak. Sholat ied di masjid lebih afdhal.
Tetapi Imam Malik berpendapat lain. Pertimbangannya bukan masalah muat atau tidak muatnya masjid, tetapi mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah saw. Beliau selalu menjalankannya di tanah lapang. Kecuali sekali saat hujan turun. Maka menurut beliau, di tanah lapag lebih afdhal.
Wallahu’lam