Residu Perbuatan Baik
Oleh: Muh. Nursalim
Kitab Al Hikam karya Ibnu Athailah ini memang luar biasa. Banyak pelajaran moral yang sangat dalam bagi manusia. Sehingga pembelajar dan pengamal dari nasehat karya ini akan sulit menyombongkan diri. Karena betapa sang ulama berhasil menelanjangi seorang hamba di hadapan sesama manusia.
Salah satu maqolahnya adalah ungkapan berikut ini. Siapa manusia itu sebenarnya. Lalu dia jawab sebagai berikut:
شرح الحكم العطائية – (ج 1 / ص 200)
إلهي من كانت محاسنه مساوي فكيف لا تكون مساويه مساوي ؟
Wahai Tuhanku, orang yang dalam semua kebaikannya masih banyak kesalahan, maka bagaimana kesalahan-kesalahannya t idak menjadi dosa.
Contoh. Aktifis masjid, mengajari anak-anak tetangga mengaji sehingga mereka mahir membaca alqur’an. Siapapun akan mengatkan bahwa kegiatan seperti itu baik, karena mengenalkan anak-anak kepada kitab sucinya. Tetapi, ketahuilah kegiatan mulia itu tetap mengandung keburukan yaitu lepasnya orang tua dari tanggungjawab mendidik anak-anak mengenalkan agamanya. Sebab menurut hadis Nabi saw kewajiban mengajarkan alqur’an itu ada pada orang tua masing-masing bukan guru TPQ. Bahkan orang tua yang mengajari alqur’an anaknya itu akan diampuni dosanya. Sebagaimana sabda Nabi berikut:
مجمع الزوائد ومنبع الفوائد . محقق – (ج 7 / ص 80)
عن أنس بن مالك قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
“من علم ابنه القرآن نظراً غفر له ما تقدم من ذنبه وما تأخر. ومن علمه إياه ظاهراً بعثه الله يوم القيامة على صورة القمر ليلة البدر ويقال لابنه: اقرأ فكلما قرأ آية رفع الله عز وجل الأب بها درجة حتى ينتهي إلى آخر ما معه من القرآن”.
رواه الطبراني في الأوسط.
Dari Anas RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa mengajarkan anaknya membaca Al-Qur’an , maka dosa-dosanya yang akan datang dan yang telah lalu akan diampuni. Dan barangsiapa mengajarkan Al- Qur’an pada anaknya sehingga menjadi Hafizh Qur’an, maka pada hari Kiamat ia akan dibangkitkan dengan wajah yang bercahaya seperti cahaya bulan purnama, dan dikatakan kepada anaknya: “Mulailah membaca Al-Qur’an !” Ketika anaknya mulai membaca satu ayat Al-Qur’an , maka ayahnya dinaikkan satu derajat, demikian terus ditinggikan derajatnya hingga tamat bacaannya”. (Hr. Tabrani)
TPQ itu baik, kehadirannya banyak bermanfaat bagi perkembangan Islam. Akan tetapi secara tidak langsung guru-guru ngaji itu telah menghilangkan peluang orang tua untuk diampuni dosanya lewat mengajari sendiri baca alqur’an kepada anak-anaknya. Namun banyak diantara kita senang kehilangan peluang tersebut.
Dahulu di sejumlah surau di jawa, menjelang pelaksanaan shalat fardhu biasa dilantunkan shalawat plus syair tambahan. Salah satunya adalah berikut ini.
Gadah putro diwulang ngaji
Yen mboten saget pasrahke pak kyai
Yen mboten purun akhire rugi
Rugi ndunyo ora dadi ngopo
Rugi akherat bakal ciloko
(Punya anak diajari membaca alqur’an
Bila orang tua tidak bisa serahkan kepada pak kyai
Jika tidak mau maka ia akan rugi
Rugi di dunia tidak apa-apa
Rugi di akherat akan celaka)
Syair tersebut menunjukkan bahwa opsi pertama mengajari membaca alqur’an kepada anak adalah orang tuanya sendiri. Ke TPQ atau guru ngaji adalah pilihan trakhir jika orang tua tidak mampu. Merujuk hadis di atas mengajari alqur’an anak orang lain adalah mendapat pahala sedangkan mengajari anaknya sendiri mengaji akan menghapus dosa orang tua, baik dosa yang akan datang maupun yang sudah lewat.
Contoh lagi. Sebuah panti asuhan anak yatim menampung dan menyantuni mereka. Anak-anak yang ditinggal mati orang tuanya itu mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang layak, sehingga masa depannya tidak sengsara. Tanyakan kepada siapapun kegiatan itu pasti dinilai baik dan mulia. Tetapi ketahuilah hal itu tetap mengandung keburukan, yaitu lepas tanggung jawabnya para kerabat. Karena menurut alqur’an anak yatim itu penanggung jawabnya adalah kerabat terdekat, bukan panti asuhan. Sebagaimana firman Allah berikut:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى [البقرة/177]
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat dan anak yatim.
Setelah urusan iman, kebaikan utama seorang muslim adalah memberi harta kepada kerabat dan anak yatim. Jika anak yatim itu dari kerabatnya maka tentu itu jauh lebih penting untuk diutamakan. Jadi tanggung jawab penyelamatan anak yatim adalah kerabat terdekatnya. Kalau setiap kerabat bertanggung jawab atas keberlangsungan hidup anak yatim, maka panti asuhan itu tidak perlu ada.
Contoh lain. Membuka usaha baru dengan jualan bakso itu mulia, karena dapat memperoleh pendapatan. Dari hasil jualan tersebut pak Gimo bisa menghidupi istri dan menyekolahkan dua anaknya. Bisnis lelaki itu baik buat dirinya dan keluarganya. Juga baik untuk sekolahan anaknya karena bayaran SPP nya lancar. Tetapi bisnis tersebut juga ada sisi buruknya. Karena penjual bakso yang sudah lebih dahulu berdiri kemungkinan terkurangi langganannya, ada sebagian lari ke warung pak Gimo bahkan mungkin ada warung bakso yang gulung tikar karena kalah bersaing.
Residu adalah ampas, begitu kata Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ampas itu identik barang yang harus dibuang, karena mengganggu dan merugikan. Demikian pula amal kebaikan manusia, ada saja residu yang merugikan. Mungkin merugikan orang lain tetapi terkadang merugikan diri sendiri. Maka, mau berbangga di sisi mana kita ini. Sedangkan kebaikan yang kita lakukanpun ada saja sisi buruknya.
Begitulah, Ibnu Athailah mengaduk-aduk ruhani orang beriman. Kebanggaan amal yang sering kita lakukan ternyata tidak bersih dari keburukan. Apalagi jika amal itu sedari awal hanya untuk di like manusia, sungguh itu adalah persembahan kepada Allah yang paling rugi. Wallahu’alam. (Art/Ab)