Marsinah: Pejuang Buruh yang Dibunuh karena Menuntut Hak
Arahbaru – Marsinah adalah seorang pejuang buruh yang menjadi korban pembunuhan pada tahun 1993. Mayatnya ditemukan pada tanggal 8 Mei 1993 di daerah Nganjuk, Jawa Timur.
Marsinah lahir pada tanggal 10 Juli 1965 di sebuah desa kecil di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara buah hasil dari pasangan Sumini dan Mastin.
Ibunya meninggal saat ia berusia 3 tahun. Ia kemudian diasuh oleh neneknya yang bernama Pu’irah dan tinggal bersama bibinya yang bernama Sini di Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur.
Setelah lulus SMA, Marsinah merantau ke Surabaya. Ia bekerja di pabrik plastik SKW di Kawasan Industri Rungkut. Gaji yang kecil memaksanya berjualan nasi bungkus.
Marsinah juga sempat bekerja di sebuah perusahaan pengemasan barang sebelum akhirnya hijrah ke Sidoarjo dan bekerja di PT. Catur Putra Surya pada 1990.
Marsinah dikenal sebagai salah satu buruh yang vokal, gigih dalam memperjuangkan hak-hak buruh di Indonesia.
Ia kemudian bergabung dengan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SBSI), sebuah organisasi buruh yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh.
Sebagai aktivis SPSI, Marsinah memperjuangkan hak-hak buruh, seperti upah yang lebih layak dan kondisi kerja yang lebih baik.
Namun, perjuangannya tidaklah mudah. Ia seringkali menghadapi intimidasi dan ancaman dari perusahaan tempat ia bekerja. Namun, ia tetap teguh dalam pendiriannya dan terus memperjuangkan hak-hak buruh.
Kronologi
Melansir dari laman Wikipedia, Marsinah dikenal cukup aktif dalam unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggulangin, Sidoarjo.
Pada tanggal 3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh tersebut.
Kemudian pada 4 Mei 1993, para buruh mogok total, mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp2.250. Tunjangan tetap Rp550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.
Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan.
Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS.
Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
Hasil visum oleh Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk pimpinan Dr. Jekti Wibowo menunjukan adanya luka robek tak teratur sepanjang 3 cm dalam tubuh Marsinah.
Luka tersebut menjalar mulai dari dinding kiri lubang kemaluan sampai ke dalam rongga perut.
Penyelidikan
Banyak pihak menyebut proses hukum kasus Marsinah banyak direkayasa. Melansir mudabicara.com, dari hasil penyelidikan, polisi menangkap 10 orang yang dianggap bertanggungjawab dalam pembunuhan Marsinah.
Orang-orang yang ditangkap itu merupakan para pegawai PT CPS tempat Marsinah bekerja. Mereka yang ditangkap yaitu satpam dan pihak manajemen PT CPS itu disekap selama 19 hari di Kodam V Brawijaya sebelum akhirnya dilimpahkan ke ke Polda Jatim.
Dalam proses persidangan para tersangka terdapat banyak kejanggalan sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa mereka hanya dikambinghitamkan.
Di pengadilan, Pemilik PT CPS Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas.
Pada 3 Mei 1995, Mahkamah Agung (MA) memvonis bahwa sembilan terdakwa tak terbukti melakukan perencanaan dan membunuh Marsinah. Hingga saat ini, siapa pembunuh Marsinah belum terungkap. (*)