Masyarakat Kendeng Gelar Kupatan: Serukan Perlawanan atas Perusakan Lingkungan

Arah Baru – Masyarakat Pegunungan Kendeng yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) kembali menggelar tradisi tahunan Kupatan Kendeng pada Jumat (04/04/2025) hingga Sabtu (05/04/2025(.
Kegiatan ini tidak hanya menjadi ekspresi budaya, namun juga menjadi simbol perlawanan terhadap berbagai kebijakan yang dinilai merusak lingkungan dan mengabaikan hak masyarakat.
Kupatan, yang berasal dari kata ngaku lepat (mengaku salah), dipahami masyarakat Kendeng sebagai bentuk permintaan maaf kepada sesama manusia dan alam semesta.
Tradisi ini dimaknai sebagai upaya menyadari kelalaian dalam menjaga lingkungan, sekaligus memperkuat tekad untuk terus merawat kelestarian alam, khususnya kawasan karst Pegunungan Kendeng.
“Tahun ini kami mengusung tema Urip Urup Kanggo Bumi, yang berarti hidup harus menyala untuk bumi,” ujar Joko Prianto, perwakilan JMPPK dalam keterangan tertulis yang dikutip di Jakarta, Senin (07/04/2025).
Menurutnya, tema ini lahir dari kegelisahan masyarakat terhadap berbagai kebijakan yang dibahas secara kilat tanpa partisipasi publik yang bermakna.
“Mulai dari revisi UU TNI, UU Minerba, hingga Omnibus Law, semuanya lahir tanpa memikirkan dampak bagi rakyat dan lingkungan,” tambahnya.

Dalam kegiatan tersebut, masyarakat Kendeng juga menggelar rembuk kampung, dengan menghadirkan perwakilan masyarakat dari berbagai daerah yang masih aktif memperjuangkan hak-haknya, seperti dari Pracimantoro (Wonogiri), Pati, Blora, dan Rembang.
Hadir pula sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti LBH Semarang, YLBHI, JATAM, Trend Asia, Taring Padi, serta aktivis lingkungan Dandhy Dwi Laksono.
Rembuk kampung ini menjadi ruang berbagi pengalaman dan memperkuat jejaring perlawanan antar daerah.
“Kawan-kawan dari Wonogiri tengah menghadapi rencana ekspansi tambang dan pabrik semen di kawasan bentang alam karst Gunungsewu. Mereka datang ke Kendeng untuk belajar dari perjuangan yang telah lebih dulu kami jalani,” ujar Joko.
Di sisi lain, Joko juga menyoroti masifnya ekspansi pertambangan di Rembang. Ia mengkritik perubahan kebijakan tata ruang yang dinilainya justru melegalkan kerusakan lingkungan demi mengejar pertumbuhan ekonomi dan pengembangan kawasan industri.
“Parahnya, Pemkab Rembang malah menerbitkan Perda tentang penarikan retribusi tambang, baik legal maupun ilegal. Ini menunjukkan watak serakah terhadap sumber daya alam,” tegasnya.
Secara nasional, Joko melihat tren serupa terus berlanjut. Ia menilai program seperti Proyek Strategis Nasional (PSN), food estate, hingga revisi sejumlah undang-undang menunjukkan kecenderungan rezim untuk meredam protes rakyat dengan pendekatan represif.
Padahal, lanjut Joko, kebutuhan untuk menambah pabrik semen sangat tidak mendesak.
“Produksi semen nasional sudah overproduksi sejak awal 2024. Konsumsinya bahkan tak sampai setengahnya. Jadi menambah tambang dan pabrik hanya akan memperparah kerusakan lingkungan,” tuturnya.
Ia juga menyayangkan belum adanya kebijakan konkret dari pemerintah terkait wacana moratorium tambang dan pabrik semen.
“Kalau moratorium itu serius dijalankan, Jawa Tengah bisa lebih fokus pada ketahanan pangan dan menjaga keseimbangan ekosistem. Tapi yang terjadi justru sebaliknya,” kata Joko.
Kupatan Kendeng tahun ini pun menjadi panggilan untuk terus menyalakan api perlawanan.
“Api perjuangan tidak cukup dinyalakan oleh satu obor. Butuh ratusan obor yang saling terhubung untuk membakar ketidakadilan dan merawat bumi,” pungkasnya.
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now