Memelihara Kebodohan, Melanggengkan Kekuasaan

George Orwell dalam 1984 mengatakan Ignorance is strength, menggambarkan bagaimana kekuasaan otoriter bisa bertahan bukan karena kebenaran, tetapi karena rakyat dibiarkan, bahkan disengaja, untuk tetap bodoh.
Fenomena ini bukan sekadar fiksi. Dalam banyak sudut sejarah dan realitas politik hari ini, memelihara kebodohan telah menjadi strategi sistematis untuk melanggengkan kekuasaan.
Ketika rakyat tak diberi ruang berpikir kritis, tidak punya akses pada informasi, dan hanya dicekoki propaganda, maka pemimpin tak perlu takut dituntut atau dipertanyakan. Dalam kebodohan yang terstruktur, kekuasaan menemukan ruang aman.
Noam Chomsky pernah berkata, “The smart way to keep people passive and obedient is to strictly limit the spectrum of acceptable opinion, but allow very lively debate within that spectrum.” Artinya, kontrol terhadap informasi dan narasi menjadi senjata utama. Bukan dengan larangan terang-terangan, tapi dengan menyempitkan cakrawala berpikir.
Di Indonesia hari ini, kekhawatiran itu bukan isapan jempol. Pemerintah melakukan pemangkasan anggaran di berbagai sektor, salah satunya Pendidikan, demi program makan bergizi gratis.
Sebuah program populis yang terdengar mulia, namun implikasinya bisa menggerus masa depan bangsa jika dilakukan dengan mengorbankan sektor strategis seperti pendidikan.
Padahal, pendidikan adalah fondasi utama peradaban. Tanpa pendidikan yang kuat, rakyat kehilangan kemampuan untuk menganalisis, mempertanyakan, dan menuntut perubahan.
Kebijakan yang mengabaikan pendidikan demi pencitraan jangka pendek adalah bentuk nyata dari apa yang disebut Paulo Freire sebagai “kekerasan simbolik” terhadap rakyat.
Dalam sistem seperti itu, kebodohan bukanlah ketidaktahuan yang alami. Ia adalah hasil dari kebijakan. Ia dipelihara melalui pembatasan literasi, sensor informasi, dan pembentukan opini massal.
Maka jangan heran jika dalam pemilu, misalnya, isu-isu dangkal lebih mengemuka dibanding gagasan besar. Karena suara orang bodoh lebih mudah diarahkan.
Ironisnya, kebodohan yang dipelihara itu menciptakan siklus: rakyat yang tak tahu cenderung tunduk, dan kekuasaan yang tak pernah ditantang merasa tak perlu berubah. Demokrasi menjadi formalitas. Keadilan hanya jargon. Dan rakyat, tetap berada di lingkaran gelap yang sama.
Sudah waktunya kita menyadari: memelihara kebodohan bukan sekadar kelalaian, tapi kejahatan politik. Dan melawan kebodohan bukan hanya tugas guru atau aktivis, tapi kewajiban semua warga yang mencintai negeri ini.
Kita butuh pendidikan yang membebaskan, media yang mencerdaskan, dan ruang publik yang mencerahkan. Sebab hanya rakyat yang cerdas yang bisa mengawal kekuasaan. Dan hanya kekuasaan yang diawasi rakyat cerdas yang bisa bekerja untuk kebaikan.
Jangan biarkan kebodohan terus hidup, jika kita tak ingin kekuasaan disalahgunakan selamanya. (*)
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now