Media Arahbaru
Beranda Opini Mudik: Pulang ke Asal, Menemukan Diri

Mudik: Pulang ke Asal, Menemukan Diri

Arah Baru – Mudik bukan sekadar perjalanan pulang. Ia lebih dari sekadar menyeberangi lautan kemacetan atau berebut tiket di terminal. Mudik adalah panggilan, semacam tarikan dari dalam diri yang mengingatkan kita akan rumah, akan asal-muasal.

Di tengah kesibukan hidup, ada satu titik dalam setahun di mana manusia merasa perlu pulang. Bukan hanya ke kampung halaman, tetapi ke sesuatu yang lebih dalam—ke jati diri yang mungkin sudah lama tersesat di hiruk-pikuk perantauan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mudik berarti pulang ke kampung halaman. Pulang sendiri bermakna kembali ke rumah atau ke tempat asalnya.

Namun, siapa pun yang pernah merasakan mudik tahu bahwa perjalanan ini lebih dari sekadar kembali ke koordinat di peta. Ini adalah perjalanan spiritual, sebuah ritual pencarian makna.

Mudik dan Ramadan: Sebuah Perjalanan Spiritual

Ramadan adalah bulan refleksi, bulan ketika manusia belajar menahan diri, melawan ego, dan mendekat pada keikhlasan. Di bulan ini, kita diminta untuk memperlambat langkah, melihat ke dalam diri, dan menemukan kembali makna hidup yang sering kali terabaikan.

Mudik, dalam banyak hal, memiliki makna yang serupa. Ia bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan untuk menemukan kembali hal-hal yang dulu begitu akrab—aroma dapur ibu di pagi hari, suara azan dari surau kecil di sudut desa, atau wajah-wajah yang menua tetapi masih menyimpan kehangatan yang sama.

Seperti Ramadan yang membawa manusia kembali kepada Tuhan, mudik membawa manusia kembali kepada asalnya, kepada tempat di mana ia dulu bertumbuh dan bermimpi.

Nietzsche pernah berkata, “He who has a why to live can bear almost any how.” Seseorang yang memiliki alasan untuk pulang akan selalu menemukan jalannya, tak peduli seberapa sulit perjalanannya. Begitulah mudik.

Bagi sebagian orang, pulang bukanlah perkara mudah. Ada yang harus menabung berbulan-bulan, ada yang harus menempuh perjalanan berjam-jam dengan kendaraan seadanya, tetapi mereka tetap pulang—karena di sana ada sesuatu yang lebih berharga dari apa pun di dunia ini: keluarga, kenangan, dan rasa memiliki.

Idulfitri dan Makna Pulang yang Sebenarnya

Idulfitri adalah tentang kembali—bukan hanya kembali ke kampung halaman, tetapi kembali ke diri sendiri. Setelah sebulan penuh berpuasa, menahan lapar, haus, dan godaan duniawi, Idulfitri datang sebagai momen pelepasan. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan terletak pada kepemilikan, tetapi pada keikhlasan.

Namun, sering kali, mudik justru membawa tantangan yang bertolak belakang dengan semangat Idulfitri.

Di banyak tempat, mudik telah berubah menjadi panggung sosial. Orang-orang yang pulang dari kota merasa perlu membawa bukti keberhasilan mereka—mobil yang lebih bagus, pakaian yang lebih mahal, atau amplop tebal untuk sanak saudara. Gengsi menjadi beban yang tak kasatmata, tetapi berat untuk ditanggung.

Jean-Paul Sartre pernah berkata, “Hell is other people.” Terkadang, tekanan sosial yang datang dari ekspektasi orang lain jauh lebih menyiksa daripada perjalanan panjang itu sendiri.

Seorang perantau yang pulang tanpa membawa “bukti kesuksesan” kerap merasa rendah diri, seolah-olah nilai dirinya ditentukan oleh seberapa banyak yang bisa ia pamerkan.

Padahal, jika kembali ke makna Ramadan dan Idulfitri, esensi dari semua ini adalah kesederhanaan dan kebersamaan. Mudik seharusnya menjadi momen untuk menghangatkan hubungan, bukan ajang kompetisi.

Mudik, seperti hidup, bukan soal seberapa jauh kita pergi, tetapi tentang ke mana kita kembali. Seperti Ramadan yang mengajarkan kesabaran, seperti Idulfitri yang mengajak manusia kembali ke fitrah, mudik seharusnya menjadi perjalanan menuju kesejatian.

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

error: Content Dilindungi Undang Undang Dilarang Untuk Copy!!