Penambahan Masa Jabatan Kepala Desa, Suatu Siasat Memperkuat Oligarki Desa
Oleh: Abidin Tatroman
Arah Baru – Kompas.com menerbitkan berita dengan judul “Masa Jabatan Kades Diperpanjang Jadi 9 Tahun, Ketua Baleg DPR: Untuk Jaga Stabilitas Desa”. Pernyataan Ketua Badan Legislasi (Baleg) ini buntut akibat tuntutan Kepala Desa se-Indonesia yang menginginkan jabatan Kepala Desa yang awalnya enam (6) tahun ditambah menjadi sembilan (9) tahun dan dapat dipilih kembali berikutnya melalui Pilkades. Pernyataan Ketua Baleg bahwa tujuan penambahan masa jabatan Kepala Desa semata-mata memastikan stabilitas di desa.
Pernyataan ini tidak ada yang salah, mungkin saja tesis Ketua Baleg ini mendeskripsikan fenomena yang terjadi di beberapa desa di Indonesia, yang sering terjadi polarisasi dan perpecahan di desa akibat dari Pemilihan Kepala Desa. Kasus ini memang di jumpai di beberapa desa yang ketika perhelatan pesta demokrasi Pemilihan Kepala Desa di warnai dengan kisruh dan pembelahan yang amat rumit. Memastikan stabilitas desa tidak hanya pada konteks regulasi dengan memperpanjang masa jabatan Kepala Desa, tetapi banyak langkah yang dilakukan untuk menekan konflik horizontal yang ada di desa karena proses Pemilihan Kepala Desa.
Fenomena yang menarik dari penambahan masa jabatan Kepala Desa ini sudah di mulai sejak Januari 2023. Saat itu ribuan Kepala Desa membanjiri halaman Gedung DPR/MPRI dengan tuntutan agar Pemerintah dan DPR RI segera melakukan revisi terhadap UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tepatnya di pasal 39 yang berbunyi bahwa “Kepala Desa memegang jabatan selama enam (6) tahun sejak tanggal pelantikan”. Permintaan dari Kepala Desa tersebut agar adanya revisi UU Desa supaya proses penambahan jabatan Kepala Des ditambahkan menjadi sembilan (9) tahun dan dapat di pilih kembali pada Pilkades berikutnya.
UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sudah mengatur sedemikian rupa mengenai jabatan Kepala Desa. Salah satu yang diatur adalah tentang jabatan Kepala Desa hanya enam (6) tahun dan bisa menjabat selama tiga kali periodisasi jika terpilih kembali di dalam Pilkades. Jadi, Kepala Desa dapat mengikuti tiga kali proses Pilkades.
Jika di kalkulasi, hitunganya sama yaitu 18 tahun antara 6 tahun jabatan Kepala Desa dan bisa mengikuti tiga kali Pilkades dengan penambahan jabatan menjadi 9 tahun dan di batasi hanya mengikuti Pilkades dua kali saja. Alasan ini yang memperkuat argumentasi Pimpinan Baleg DPR RI untuk menyetuji proses penambahan jabatan Kepala Desa, dengan tujuan stabilitas desa terkendali dan sustainable development di desa berjalan aman dan tertib sesuai cita-cita UU Desa yang mensyaratkan agar desa sebagai lokomotif kemandirian ekonomi dan menekan angka kemiskinan serta adanya kemnadirian desa.
Perpanjangan masa jabatan Kepala Desa ini ditentang oleh berbagai pihak, hal ini dikhawatirkan proses demokratisasi di desa tidak berjalan sehat, karena di dominasi oleh kelompok tertentu yang kuat membangun basis ekonomi di desa. Selain itu juga, praktik korupsi makin subur di desa. Indonesia Corruption Watch (ICW) telah menghimpun praktik penyalahgunaan keuangan desa per 2015-2021 yang sudah ditindak oleh aparat penegak hukum mencapai titik yang sangat memprihatinkan. ICW merilis kasus korupsi di desa dengan total 592 kasus dengan kerugian negara sebesar Rp. 433,8 miliar. Angka yang fantastis. Kasus yang dirilis oleh ICW membuktikan bahwa penyalahgunaan keuangan desa itu ada dan berbahaya jika Kepala Desa diberikan privilige dengan status penambahan masa jabatanya. Keistimewaan desa dengan adanya kucuran dana milyaran dari Pemerintah Pusat bisa saja membuat Kepala Desa merasa paling kuat di desa dengan kewenangan yang ada.
Di Indonesia, ada dua model Desa yaitu Desa Adat dan Desa Dinas. Praktik penyelenggaraan Desa Adat di dasarkan atas sistem turunan dan garis lurus yang di yakini oleh masyarakat Desa Adat sebagai pemilik tunggal Kepala Desa. Praktik pemilihan Kepala Desa oleh Desa Adat relatif menekan konflik horizontal di desa, karena penentuan/pemilihan Kepala Desa hanya di wakilkan oleh sekelompok orang yang secara hukum adat punya hak untuk menetukan siapa yang menjadi Kepala Desa. Praktik ini sudah berlangsung lama di Desa Adat.
Sedangkan Desa Dinas, mekanisme Pilkades diadakan secara demokratis dan di pilih langsung oleh masyarakat desa. Apakah praktik pemilihan kepala desa tidak ada permainan pihak pemodal atau yang di sebut dengan oligark, justru Pilkades tumbuh subur praktik oligark yang ikut campur mengatur proses pemilihan Kepala Desa. Dengan kekuasaan ekonomi yang dimiliki, oligark mampu mengintervensi mekanisme pemilhan Kepala Desa dengan menyokong satu diantara yang di ajukan sebagai kandidat.
Secara teoritis oligarki berbeda dengan elite. Perbedaan oligarki dan elite terletak pada penguasan sumber daya ekonomi dan kekuasaan politik di desa. Winters (2011,12) menjelaskan bahwa dinasti politik cenderung dari kalangan elite dengan kekuasaan sumber daya ekonomi di dadapatkan dari kekuasaan atau jabatan yang dimiliki. Baik dengan cara memaksa atau pun metode mobilisir. Sedangkan oligarki adalah penguasaan sumber daya material (uang). Elite yang tidak menguasai sumber daya material maka tidak dikategorikan sebagai oligarki. Artinya bahwa tidak semua elite merupakan oligarki.
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, desa diberikan kewenangan yang cukup besar lewat desentarlisasi fiskal yang membuka ruang kepada desa mengelola keuangan negara yang nilainya fantastis. Potensi permainan di desa sangat seksi dan menjanjikan oleh pemilik modal atas hadirnya kebijakan fiskal dari pemerintah pusat yang besar.
Sebuah artikel yang di tulis oleh Endik Hidayat dkk dengan judul “Praktik Politik Oligarki dan Mobilisasi Sumber Daya Kekuasaan Di Pilkades Desa Sitimerto Pada Tahun 2016”. Endik Hidayat dkk memotret fenomena Pilkades di desa Sitimerto pada tahun 2016, bahwa mayoritas calon Kepala Desa di desa tersebut menggunakan sumber daya material untuk kemenangan pada Pilkades serentak 2016. Artinya oligark memainkan peran penting di dalam proses pemilihan Kepala Desa.
Peran oligarki ini sejalan dengan dinamika desa yang makin hari terjadi pemusatan kegiatan ekonomi di desa yang menjanjikan mendapatkan keuntungan yang besar lewat parktik Pilkades maupun penguasaan tanah yang mudah di dapatkan oleh Pemerintah Desa dengan menyokokng Pimpinan di desa. Penambahan masa jabatan Kepala Desa hanyalah untuk melanggengkan kekuasaan oligark yang sudah lama becokol di desa. Pemerintah Pusat dan DPR RI tidak punya kajian yang matang tentang alasan penambahan jabatan Kepala Desa dari enam (6) tahun menjadi sembilan (9). Alasan stabilitas, keamanan pembangunan desa justru harus dikuatkan dengan kajian dan pemetaan daerah konflik dan segera di mitigasi lewat mekanisme lain. Bukan untuk menambahkan masa jabatan Kepala Desa.
Jika diamati baik-baik, pengelolaan keuangan desa di Indonesia banyak yang bermasalah dan tidak tepat sasaran sesuai semangat UU Desa yang menghendaki adanya kemandirian ekonomi di desa. Justru sebaliknya, adanya dana desa melahirkan raja-raja kecil di desa dan berselingkuh dengan pemodal untuk kepentingan kelompoknya saja.