Soal Perjanjian Pemilu, Perlukah Berbohong Demi Kekuasaan?
Dalam waktu berdekatan ini, Sandiaga Uno menggoreng isu mengenai perjanjian pemilu yang dilakukan Anies Baswedan saat maju pada pemilihan gubernur DKI Jakarta. Di mana Anies berpasangan dengan Sandiaga Uno waktu itu.
Satu isu terkait perjanjian dengan Prabowo, isu berikutnya soal utang Rp50 miliar. Kali ini, kita akan coba menelisik perkara utang Rp50 miliar. Isu ini dilempar oleh Wakil Ketua Umum Partai Golkar Erwin Aksa, setelah Sandi menyatakan surat perjanjian dengan Prabowo.
Bila kita melihat waktunya yang berdekatan, rasanya kok tidak masuk akal bila isu tersebut muncul secara kebetulan dan spontan. Kemungkinan besar, isu tersebut dilempar by design. Secara sengaja.
Lantas, apa tujuan dari pelemparan isu tersebut? Sudah pasti ingin menyudutkan dan mendiskreditkan Anies Baswedan. Sayangnya—siapa pun pemilik ide awalnya—orang yang melempar isu tersebut tidak menyadari bahwa masyarakat Indonesia sudah cerdas dan jejak digital itu abadi.
Perkara isu utang Rp50 miliar, dengan segera banyak klarifikasi yang menyatakan bahwa urusan biaya kampanye tersebut dianggap selesai bila Anies-Sandi terpilih jadi pasangan gubernur-wakil gubernur pada Pilkada Jakarta 2017. Itulah fakta yang terjadi.
Dikatakan oleh Sudirman Said dan juga perwakilan Jusuf Kalla, urusan pinjam meminjam tersebut selesai bila mereka terpilih. Jadi dari penuturan tersebut, sudah jelas bahwa urusan tersebut sudah selesai. Tapi mengapa baru sekarang diungkit lagi, tidak dari dulu?
Sama seperti surat perjanjian Anies-Prabowo, nyatanya pelempar isu tidak berani menunjukkan dokumen utang tersebut. Padahal itu cara paling mudah dan jujur untuk menunjukkan apa sebenarnya isi perjanjian tersebut.
Cara ini mengingatkan juga surat perjanjian Batutulis antara Mega-Prabowo. Jadi isu santer dan panas, tapi tidak pernah terbukti. Sebab, pihak yang melempar isu sendiri tidak pernah berani menunjukkan surat tersebut.
Dalam konteks surat utang Anies—sama dengan isu surat lainnya sebenarnya—cara membuktikan paling mudah adalah dengan menunjukkan surat perjanjiannya. Tidak ada cara lain. Dari dokumen tersebut, akan terbuka secara terang benderang siapa yang jujur dan siapa yang berbohong.
Satu hal yang membuat heran adalah, mengapa orang sampai rela berbohong demi mengejar kekuasaan? Bahkan, rela mengabaikan nilai pertemanan dan kejujuran. Sudah sangat terang, pelemparan isu tersebut jelas sebagai upaya untuk mendiskreditkan Anies. Tidak ada tujuan lain.
Narasi semacam ini, sebenarnya adalah narasi yang memecah belah dan menyebabkan polarisasi. Apalagi isu yang dilemparkan tidak berdasar data yang valid. Tentu saja tokoh publik yang berbicara tanpa data dan fakta seperti ini menjadi contoh bagi rakyat untuk berbohong dan juga bermusuhan. Apakah memang itu yang ingin dicapai?
Kontestasi politik dalam pemilu, seharusnya disikapi sebagai peristiwa reguler lima tahunan. Semua pihak harus berpikir bahwa tujuan politik dan pemilu itu untuk kepentingan rakyat. Tujuan yang baik, harus dicapai dengan cara yang bermartabat.
Jangan sampai demi tujuan politik, lantas menyebar kabar bohong. Berpikirlah, bahwa rakyat Indonesia itu sudah cerdas. Tidak lagi mudah dibohongi dengan kabar tak jelas seperti itu. Sungguh cara-cara yang ketinggalan zaman.
Menaggapi isu tersebut, mengingatkan apa yang pernah diucapkan oleh Anies Baswedan. Baginya, kontestasi politik seperti pilkada dan pilpres adalah festival gagasan serta karya. Bukan arena pertempuran. Karena itu, harus dilakukan dengan cara yang menyenangkan dan bermartabat.
Semoga tokoh politik yang lain juga memahami hal ini. Bahwa pemilu, bertujuan untuk mempersatukan anak bangsa, bukan memecahnya berkeping-keping.