Tragedi Pembantaian Burung Gereja, Picu Kematian 45 Juta Manusia di Tiongkok
Arah Baru – Burung Gereja sering dianggap sebagai hama bagi para petani. Namun, membantainya bukanlah solusi yang tepat dan bahkan berdampak buruk bagi ekosistem.
Dalam lembaran sejarah, peristiwa pembantaian burung gereja pernah terjadi di Tiongkok. Melansir Mongabay, pada pertengahan 1958, Mao Zedong, mengeluarkan dekrit yang mengegerkan: semua burung gereja Eurasia harus dibunuh.
Mengutip wikipedia, Mao Zedong merupakan revolusioner komunis Tiongkok yang merupakan pendiri Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Ia memimpin Partai Komunis Tiongkok sejak berdirinya RRT pada tahun 1949 hingga kematiannya pada tahun 1976.
Secara ideologis dia adalah seorang Marxisme-Leninisme, teorinya, strategi militer, dan kebijakan politiknya secara kolektif dikenal sebagai Maoisme.
Dekrit yang dikeluarkan Mao itu bukannya tanpa alasan. Sebagai anak petani makmur di Hunan, Mao tahu bahwa burung ini adalah pemakan biji-bijian, khususnya bulir padi, yang dianggapnya sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi yang ia kehendaki.
Mao melihat burung gereja Eurasia sebagai hama yang menghambat perbaikan ekonomi Tiongkok pada masa itu. Karena itu, ia memulai kampanye besar-besaran yang dikenal sebagai “Kampanye Empat Hama” sebagai bagian dari program Lompatan Besar Kedepan (Great Leap Forward) antara 1958-1962.
Kampanye ini bertujuan memusnahkan nyamuk, lalat, tikus, dan burung gereja Eurasia yang dianggap mengganggu pertumbuhan ekonomi yang diidamkan.
Salah satu fokus utama kampanye adalah pembunuhan massal burung gereja Eurasia. Orang-orang dipanggil untuk bergabung dalam tindakan ini, menggunakan berbagai cara brutal.
Mereka memukul drum dan gendang secara keras untuk menakuti burung-burung tersebut hingga mati lelah. Sarang-sarangnya dihancurkan, telurnya dipecahkan, dan anak-anaknya dibunuh. Selain itu, pelatihan menembak burung gereja saat terbang juga dilakukan.
Namun, yang terjadi selanjutnya adalah sebuah ironi yang tragis. Ketika burung-burung tersebut berhasil dimusnahkan dalam jumlah besar, populasi belalang yang menjadi makanannya melonjak drastis.
Tanpa predator alami, belalang menjadi ancaman serius bagi tanaman pangan. Hasilnya, produksi padi di berbagai wilayah merosot tajam, membawa konsekuensi langsung pada ketersediaan pangan bagi jutaan orang.
Wabah kelaparan besar pun merebak. Pemerintah Tiongkok mencatat sekitar 15 juta kematian akibat kelaparan. Tetapi, para ahli meyakini jumlah kematian jauh lebih banyak, mencapai 45 – 78 juta jiwa.
Kebijakan yang diambil Mao untuk membantai burung-burung tersebut terbukti salah. Bukannya meningkatkan produksi pertanian, tetapi kebijakan tersebut malah memicu kelaparan hebat.
Akibat Pembantaian Burung Gereja
Pembantaian burung gereja Eurasia tidak hanya menyebabkan tragedi kelaparan yang hebat. Kisah tragis ini tragis ini juga diwarnai dengan kejadian kanibalisme.
Akibat kelaparan yang luar biasa, manusia memakan manusia yang lain. Kanibalisme ini terjadi di mana orang memakan orang, anak memakan orang tua, orang tua memakan anaknya, dan seterusnya. Jumlahnya tidak sedikit, tetapi mencapai ribuan.
Dalam buku Tombstone karya jurnalis Tiongkok, Yang Jisheng, diperkirakan wabah kelaparan besar tersebut menyebabkan tewasnya 36 juta orang. Buku tersebut langsung dilarang beredar.
Pada akhirnya, Mao Zedong menyadari bahwa kebijakannya membantai burung gereja Eurasia tidak tepat. Ia pun memerintahkan dihentikannya pembantaian burung gereja.
Pembunuhan massal burung ini menjadi salah satu contoh tragis bagaimana kebijakan yang dilakukan tanpa pertimbangan yang matang dapat membawa dampak yang merusak bagi masyarakat. (*)