Media Arahbaru
Beranda Opini Transformasi Paradigma Filosofis Keilmuan dalam Perspektif al-Qur’an

Transformasi Paradigma Filosofis Keilmuan dalam Perspektif al-Qur’an

#image_title

Penulis: Prof. Dr. J. Suyuthi Pulungan, M.A. – Guru Besar UIN Raden Fatah Palembang

Sebagai umat Islam kita menyadari bahwa sejak awal diturunkannya al-Qurán, Allah Swt memerintahkan kita menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cara memikirkan ciptaan langit dan bumi, menyuruh untuk berpikir, mengamati, dan meneliti alam semesta. Al-Qur’an menantang manusia untuk meneliti alam semesta hingga sekecil-kecilnya (QS. al-Ghasiyah: 17-30). Makna ayat al-Qur’an tersebut jika diresapi secara mendalam, sebenarnya merupakan perintah dan anjuran mengggali ilmu pengetahuan seluas-luasnya dengan melakukan riset terhadap alam semesta. Persoalannya adalah selama ini para ilmuan, seperti; ahli biologi, kimia, fsika, sosiologi, psikologi dan seterusnya, dalam mengembangkan dan meneliti alam semesta belum mengacu kepada ayat-ayat al-Qur’an. Sementara kebanyakan para ulama yang menekuni al-Qurán dan hadits berhenti pada kajian teks saja, belum sampai melahirkan semangat untuk meneliti alam semesta ciptaan Allah secara ilmiah sebagaimana pesan al-Qur’an.

Akibatnya, akrab ditelinga kita istilah dikotomi ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Ilmu agama Islam adalah ilmu yang berbasiskan wahyu, hadits Nabi dan ijtihad para ulama. Misalnya, ilmu fikih, ilmu tauhid, ilmu tasawuf, ilmu tafsir, ilmu hadits, sejarah peradaban Islam dan lain sebagainya. Sedangkan ilmu pengetahuan umum lainnya adalah ilmu yang berbasiskan eksperimentasi dan penalaran manusia berdasarkan data yang empiris melalui penelitian. Seperti, matematika, astronomi, biologi, kimia, kedokteran, antropologi, ekonomi, sosiologi, psikologi dan lain sebagainya. Keduanya mempunyai wilayah masing-masing, terpisah antara satu dengan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, dan juga peran yang dimainkan.

Karena keprihatinan itulah muncullah ide atau gagasan mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan atau disebut juga integrasi ilmu pengetahuan sebagai upaya untuk menetralisasi pengaruh ilmu pengetahuan Barat modern. Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan muncul kali pertama pada saat diselenggarakan sebuah konferensi dunia yang pertama tentang pendidikan muslim di Makkah pada tahun 1977.  Konferensi yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh King Abdul Aziz University ini berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari 40 negara, dan merumuskan rekomendasi untuk pembenahan dan penyempurnaan sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia. Salah satu gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut Islamisasi ilmu pengetahuan. Gagasan ini antara lain dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Isma’il Raj’i al-Faruqi1.   

Bagi al-Attas, Islamisasi ilmu pengetahuan adalah pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler dan dari makna-makna serta ungkapan manusia-manusia sekuler2. Menurut al-Attas, ilmu pengetahuan yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai oleh corak budaya dan peradaban Barat. Sementara peradaban Barat sendiri telah melahirkan kebingungan. Peradaban yang lahir dari pengetahuan Barat telah kehilangan hakikat, sehingga menyebabkan kekacauan hidup manusia. Karena itu al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak untuk dikonsumsi sebelum dipilih dan dipilah, yang sejati dari yang bercampur palsu3

Menurut al-Attas, ilmu-ilmu rasional, intelektual, dan filosofi dengan segenap cabangnya harus dibersihkan dari unsur-unsur dan konsep-konsep Barat lalu dimasuki dengan unsur-unsur dan konsep-konsep kunci Islam. Bagi al-Attas, Islamisasi ilmu merupakan suatu proses eliminasi unsur-unsur dan konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan Barat, dan ilmu-ilmu yang dikembangkan, memasukkan unsur unsur dan konsep-konsep pokok Islam. Tetapi, sebelum melaksanakan Islamisasi ilmu pengetahuan, ada sesuatu yang harus dilaksanakan terlebih dahulu, yaitu Islamisasi bahasa4

Sedangkan menurut al-Faruqi, Islamisasi pengetahuan itu harus mengamati sejumlah prinsip yang merupakan esensi Islam. Untuk menuangkan kembali disiplin- disiplin di bawah kerangka Islam, berarti membuat teori-teori, metode, prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan tunduk kepada keesaan Allah, kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup dan kesatuan umat manusia5.

Menurut al-Faruqi, peradaban Barat dan westernisasi telah membawa efek negatif bagi umat Islam. Di satu pihak umat Islam telah berkenalan dengan peradaban Barat modern, tetapi di pihak lain mereka kehilangan pijakan yang kokoh, yaitu pedoman hidup yang bersumber moral agama. Akibatnya, umat Islam sulit untuk menentukan pilihan arah yang tepat. Karenanya umat Islam akhirnya terkesan mengambil sikap mendua (ambigu/split personality). Pandangan dualisme yang demikian ini menjadi penyebab dari kemunduran yang dialami umat Islam. Untuk menghilangkan dualisme ini, maka pengetahuan harus diislamisasikan6. Al-Faruqi selanjutnya mengatakan bahwa sebelum orang Islam mengalami kerusakan dan kemunduran, mereka harus mengembangkan, membangun, dan mengklarifikasi disiplin-disiplin ilmu modern yang sesuai dengan pandangan dunia dan nilai-nilai Islam7.  Program Islamisasi ilmu al-Faruqi ini terdiri dari 12 program kerja dan kemudian program kerja tersebut dijadikan 5 landasan objek rencana kerja Islamisasi ilmu pengetahuan8.  

Berbeda dengan Ziauddin Sardar. Ia malah mengkritik konsep Islamisasi ilmu pengetahuan yang digagas Isma’il Raj’i al-Faruqi. Ia melakukan rekonstruksi terhadap konsep tersebut dengan menggunakan terminologi ilmu pengetahuan Islam. Kritik Sardar diarahkan pada pendapat adanya relevansi antara ilmu pengetahuan Islam dan ilmu pengetahuan Barat. Ia tidak setuju dengan al-Faruqi yang menyatakan perlunya penguasaan terhadap ilmu pengetahuan Barat terlebih dahulu untuk menguasai ilmu pengetahuan Islam. Sardar menjelaskan bahwa semua ilmu dilahirkan dari pandangan tertentu dan dari segi hierarki tunduk kepada pandangan tersebut. Oleh karena itu, usaha untuk menemukan epistemologi tidak boleh diawali dengan memberi tumpuan pada ilmu pengetahuan modern. Karena Islamisasi ilmu pengetahuan modern hanya bisa terjadi dengan paradigma yang mengkaji aplikasi luar peradaban Islam yang berhubungan dengan keperluan realitas kontemporer. Jika tetap bertahan pada corak berpikir seperti itu berarti hanya sebatas mengeksploitasi ilmu pengetahuan Islami, namun tetap menggunakan corak berpikir Barat9.

Sardar menekankan perlunya penciptaan suatu ilmu pengetahuan Islam kontemporer sebagai counter atas ilmu pengetahuan modern Barat. Yaitu, suatu sistem ilmu pengetahuan yang berpijak pada nilai-nilai Islam. Gagasan ini berbeda dengan Nasr yang menggali kritiknya melalui perspektif kaum tradisional. Sardar dengan cerdas memanfaatkan kritik dari kalangan filosof dan sejarawan ilmu pengetahuan Barat, terutama kaum pemikir environmentalis bahkan hingga kelompok radikal kiri di Barat yang marak semenjak tahun 1960-an. Kritiknya tersebut berujung kepada kenyataan ketidaknetralan ilmu pengetahuan modern dan besarnya pengaruh budaya Barat modern dalam bentuk ilmu pengetahuan serta dampak-dampaknya.

Sardar memberikan solusi dengan mengatakan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan harus berangkat dari membangun epistemologi Islam, sehingga hal ini bisa menghasilkan sistem ilmu pengetahuan yang dibangun di atas pilar-pilar ajaran Islam. Karena itu, menurut Sardar, yang diperlukan adalah re-orientasi radikal ilmu pengetahuan hingga ke tingkat epistemologi dan pengisian pandangan dunianya dengan nilai-nilai Islam agar terbentuk suatu ilmu pengetahuan Islam yang lebih sesuai dengan kebutuhan fisik dan spiritual umat Islam. Sardar menyebut usahanya ini dengan kontemporerisasi ilmu pengetahuan Islam. Nilai-nilai yang dijadikan pijakan epistemologi oleh Sardar adalah sepuluh nilai, yaitu tauhid, khilafah, ibadah, ‘ilm, halal, haram, ‘adl vs zulm, istishlah vs dhiya’10.  Kesepuluh rumusan nilai ini dapat diletakkan sebagai basis untuk menilai apakah program-program riset dan teknik masuk dalam kategori islamic science atau tidak. Misalnya, pertanyaan dapat diajukan, yaitu apakah ia membawa kepada penghormatan kepada kekhalifahan manusia berkenaan dengan dunia alam?; dan apakah membawa kepada kesejahteraan manusia atau kesia-siaan?

Memang harus diakui dikalangan ilmuan Muslim masih terdapat perbedaan sudut pandang dalam upaya Islamisasi ilmu pengetahuan, khususnya pemikiran al-Attas dan Isma’il Raj’i al-Faruqi versus Ziauddin Sardar. Hal ini wajar karena perbedaan latar belakang pendidikan, disiplin keilmuan dan setting sosio-kultural masing-masing ilmuan. Dalam konteks inilah penelitian ini menjadi sangat penting untuk mengkaji transformasi paradigma filosofis keilmuan, terutama berkaitan dengan pemikiran integrasi ilmu pengetahuan dalam perspektif al-Qur’an. Penelitian ini merupakan upaya membangun flatform bahwa ilmu pengetahuan harus merujuk kepada ilmu pengetahuan Ilahiyah (wahyu) dan ilmu pengetahuan manusiawi (inderawi dan rasional) yang berporos kepada Allah Swt. Dengan proposisi ini dapat ditegaskan bahwa membangun rangka fikir Islamisasi ilmu pengetahuan haruslah berangkat dari pemahaman mengenai hakikat manusia menurut al-Qur’an.

Sebab seperti dikatakan Kuntowijoyo pokok dari konsep integrasi ilmu pengetahuan adalah penyatuan (bukan sekadar penggabungan) antara wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia11. Bahkan lebih jauh, Imam Suprayogo juga mendefinisikan integrasi keilmuan sebagai pemposisian al-Qur’an sebagai grand theory bagi pengetahuan12. Ilmu pengethaun dan agama seolah dua entitas yang berlainan dan terpisah satu sama lain, mempunyai wilayah masing-masing, baik objek formal–material keilmuan, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuan, bahkan ke tingkat institusi penyelenggaranya13.

Atas dasar pemikiran inilah transformasi paradigma filosofis keilmuan, terutama berkaitan dengan pemikiran integrasi ilmu pengetahuan dalam perspektif al-Qur’an menjadi penting sebagai sebuah ikhtiar meng-Islam-kan ilmu pengetahuan dan kiranya menjadi bagian penting tradisi intelektual kaum Muslim modern. Menurut Imam Suprayogo, keterpaduan ilmu dan agama, dapat digambarkan seperti metafora “pohon ilmu” yang besar dan akarnya kukuh menghunjam ke dasar bumi.  Dengan demikian, Imam Suprayogo meyakini bahwa teks al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan, baik dalam level teori pengembangan keilmuan maupun dalam level praktik keagamaan, yang mestinya dikembangkan dalam dunia kampus Islam yang integral di semua fakultas. Di sinilah pentingnya melakukan menelusuri mengkaji paradigma filosofis keilmuan melalui penafsiran teks al-Qur’an yang terintegrasi antara ilmu pengetahuan dan teks al-Qur’an.

Berdasarkan informasi al-Qur’an maupun kajian para filosof atau pemikir muslim bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Allah Swt yang bersifat monodulis. Artinya, manusia adalah rangkaian dari dua substansi, yaitu; komponen material; jasmani yang berasal dari intisari tanah, dan komponen immaterial; ruh yang di-“tiup”-kan Allah Swt. Dengan kalimat lain, manusia tersusun atas unsur jasmani dan ruhami. Sedangkan yang menjadi hakikat (esensi) manusia menurut para filosof atau pemikir muslim adalah ruh sebagai jadi dirinya.

Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt yang paling mulia dan terbaik telah diperlengkapi dengan seperangkat potensi. Potensi yang dimaksud, antara lain; potensi tauhid (fitrah beragama), akal, hati (qalb), dan jasmani. Selain potensi positif ini, dalam diri manusia juga terdapat potensi negatif yang merupakan kelemahan manusia, seperti potensi untuk terjerumus dalam godaan hawa nafsu dan setan. Karena itu, manusia dikatakan sebagai makhluk paradoksal, yakni memiliki kecenderungan ke arah kebaikan dan keburukan sekaligus.

Dengan potensi yang dimiliki manusia tersebut, Allah Swt menjadikannya sebagai khalifah di bumi. Dan agar potensi itu dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, niscaya dibutuhkan konsep keilmuan yang tidak dikhotomis. Sebab bila ilmu pengetahuan itu sarat dengan nilai-nilai peradaban Barat yang lebih mementingkan indera dan rasionalitas serta netral etik. Justru yang akan melahirkan manusia yang memiliki pribadi terpecah (split personality) dalam masyarakat. Lebih jauh, dalam proses regenerasi umat tampillah manusia-manusia yang memisahkan kehidupan sosial, poltiik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi dari ajaran Islam.

Menyadari kenyataan itu, perlu adanya integrasi ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Para sarjana muslim telah mencari alternatif konsep ilmu pengetahuan atas dasar pandangan dunia (worldview) Islam yang berdasarkan al-Qur’an. Upaya ini dikenal dengan istilah “islamisasi ilmu pengetahuan”. Pada dasar islamisasi ilmu pengetahuan tidak hanya menerapkan etika Islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan. Tetapi lebih dari itu, yakni proses pengembalian dan pemurnian ilmu pengetahuan pada prinsip-prinsip hakiki, yaitu tauhid, kesatuan makna kebenaran dan kesatuan sumber ilmu pengetahuan. Dari ketiga prinsip ini yang disebut sebagai prinsip dasar ilmu pengetahuan Islami. Dari sini diturunkan ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu pengetahuan.

Setelah itu dirumuskan klasifikasi ilmu pengetahuan yang merujuk kepada ilmu pengetahuan Ilahiyah (wahyu) dan ilmu pengetahuan manusiawi (inderawi dan rasional) yang berporos kepada Allah Swt. Artinya, ilmu pengetahuan jenis kedua ini secara organis inherent dengan spirit wahyu Ilahi. Dengan proposisi yang dikemukakan ini dapat ditegaskan bahwa kajian ini dapat menjawab fokus permasalahan bagaimana integrasi ilmu pengetahuan menurut al-Qur’an. Melalui kerangka fikir islamisasi ilmu pengetahuan ini serasi dengan konsepsi manusia menurut al-Qur’an, baik berkaitan dengan hakikat penciptaan, potensi dasar manusia, dan fungsi kekhalifahan manusia di bumi.

Daftar Pustaka

[1]Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan
Kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan
, (Bandung: Nuansa, 2003), h. 330.

2,3,4,9,10Abdullah Ahmad Na’im, dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), h. 337-338

5Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern, Biografi Intelektual 17 Tokoh,
(Jakarta : Grasindo, 2003), h. 163.

6-7Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh
Pendidikan Islam di Dunia Islam dan di Indonesia
, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), h.110.

8Keterangan lebih lanjut lihat Ismail Raj’i al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin, (Bandung, Pustaka, 1995); lihat juga Khudori Soleh, “Mencermati Konsep Islamisasi Ilmu Ismail Raj’i Al-Faruqi”. Dalam Jurnal  Studi Islam Ulul Albab, Vol. 12, No. 1, (Malang; Fakultas Psikologi UIN Maliki Malang, 2011).

11Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h. 55.

12Imam Suprayogo, “Membangun Integrasi Ilmu dan Agama: Pengalaman UIN Malang”. Dalam Zainal Abidin Bagir (ed), Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005), h. 49-50.

13Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 92.

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

error: Content Dilindungi Undang Undang Dilarang Untuk Copy!!