Biografi Buya Hamka, Seorang Ulama dan Sastrawan
Arahbaru – Buya Hamka adalah seorang ulama, filsuf, dan sastrawan Indonesia. Nama aslinya adalah Abdul Malik Karim Amrullah. Lahir di Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, pada 17 Februari 1908.
Kariernya cukup cemerlang sebagai seorang wartawan, penulis, dan pengajar. Ia juga aktif dalam kegiatan politik melalui Partai Masyumi.
Ia tercatat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama pada tahun 1975. Selain itu, ia juga aktif dalam organisasi Muhammadiyah.
Beberapa karyanya cukup dikenal publik. Beberapa bahkan telah difilmkan, yaitu Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Hamka mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia. Ia juga mendapatkan gelar guru besar dari Universitas Moestopo.
Kebesaran nama Hamka disematkan sebagai nama universitas, yaitu Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.
Hamka Kecil
Dilansir dari wikipedia, Hamka merupakan anak pertama dari empat bersaudara pasangan Abdul Karim Amrullah “Haji Rasul” dan Safiyah. Ia memiliki adik dengan nama Abdul Kuddus, Asma, dan Abdul Mu’thi.
Haji Rasul merupakan memimpin gelombang pembaruan Islam, menentang tradisi adat dan amalan tarekat.
Hal tersebut agak unik mengingat ayah dari Haji Rasul, Muhammad Amrullah, adalah seorang pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah. Sementara ibunya, Sitti Tarsawa, adalah seorang yang mengajarkan tari, nyanyian, dan pencak silat.
Hamka kecil tinggal bersama kakek dan neneknya di Maninjau. Ia sering mendengarkan pantun-pantun dari neneknya yang merekam keindahan alam Minangkabau. Pada masa itu, Ayahnya sering bepergian untuk berdakwah.
Saat berusia empat tahun, Hamka mengikuti kepindahan orangtuanya ke Padang Panjang, belajar membaca al-Qur’an dan bacaan salat di bawah bimbingan Fatimah, kakak tirinya.
Hamka masuk ke Sekolah Desa pada saat usia tujuh tahun. Pada sore hari, ia mengikuti sekolah agama Diniya School yang didirkan Zainuddin Labay El Yunusy pada 1916.
Hamka mengambil kelas sore di Diniyah School. Kesukaannya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab.
Pada 1918, Hamka berhenti dari Sekolah Desa setelah melewatkan tiga tahun belajar. Karena menekankan pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan Hamka ke Thawalib. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya menghafal kitab-kitab klasik, kaidah mengenai nahwu, dan ilmu saraf.
Setelah belajar di Diniyah School setiap pagi, Hamka menghadiri kelas Thawalib pada sore hari dan malamnya kembali ke surau. Namun, sistem pembelajaran di Thawalib yang mengandalkan hafalan membuatnya jenuh.
Kebanyakan murid Thawalib adalah remaja yang lebih tua dari Hamka karena beratnya materi yang dihafalkan. Dari pelajaran yang diikutinya, ia hanya tertarik dengan pelajaran arudh yang membahas tentang syair dalam bahasa Arab.
Sang Pengelana
Buya Hamka dikenal sebagai pengelana sejak masih muda. Ayahnya memberinya gelar Si Bujang Jauh. Pada saat usianya masih 16 tahun, Hamka merantau ke Yogyakarta.
Di Yogyakarta, ia belajar pergerakan Islam modern kepada sejumlah tokoh seperti H.O.S Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M Soerjopranoto dan H. Fachruddin
Dari sana dia mulai mengenal perbandingan antara pergerakan politik Islam, yaitu Sarekat Islam Hindia Timur dan gerakan Sosial Muhammadiyah.
Hamka tinggal selama enam bulan di Yogyakarta. Ia tinggal bersama iparnya, A.R. St. Mansur. Dari iparnya itu, ia banyak belajar tentang Islam yang dinamis dan politik.
Dari iparnya itu pula, ia mulai berkenalan dengan pemikiran Muhammad Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad Abduh, dan Rosyid Ridha yang berupaya mendobrak kebekuan umat Islam pada masa itu.
Pada 1925, ia pulang ke Maninjau dengan membawa beberapa buah karya para pemikir hebat saat itu. Ia pulang dengan semangat dan wawasan baru tentang Islam yang dinamis.
Dengan wawasan baru itu, ia telah berani tampil berpidato di muka umum. Untuk membuka wawasannya, ia mulai berlangganan pula dengan ide-ide pembaharuan dan pergerakan umat Islam baik Indonesia maupun luar negeri.
Pada tahun 1927, ia berangkat menunaikan ibadah haji sambil menjadi koresponden pada harian Pelita Andalas di Medan. Sekembalinya dari Makkah, ia tidak langsung ke Minangkabau, namun singgah di kota Medan untuk beberapa waktu. Di kota inilah ia banyak menulis artikel di berbagai majalah waktu itu.
Karir Jurnalis
Hamka mulai menekuni dunia tulis-menulis sepulang dari Mekkah. Ia tidak kembali ke Padang Panjang melainkan turun di Medan.
Ia mulai menulis artikel artikel tentang pengalamannya menunaikan ibadah haji untuk Pelita Andalas, surat kabar milik orang Tionghoa. Ia juga mengenai Sumatra Thawalib dan gerakan reformasi Islam di Minangkabau, yang dipimpin ayahnya sendiri.
Dari artikel-artikel awal itulah, Hamka menemukan suaranya sebagai jurnalis. Muhammad Ismail Lubis, pimpinan majalah Seruan Islam mengirimkan permintaan kepada Hamka untuk menulis.
Selain menulis untuk surat kabar dan majalah lokal, Hamka mengirimkan tulisannya ke Suara Muhammadiyah pimpinan Abdul Azis dan Bintang Islam pimpinan Fakhroedin.
Untuk biaya hidup, Hamka tidak mengandalkannya hanya dari karya tulis. Ia kemudian memenuhi permintaan mengajar dari pedagang-pedagang kecil di Kebun Bajalinggi. Waktu itulah ia menyaksikan kehidupan kuli dari dekat yang kelak menggerakkannya menulis Merantau Ke Deli.
Pada akhir 1927, Hamka memutuskan pulang menyusul ayahnya di Sungai Batang. Rumahnya di Padang Panjang hancur karena gempa setahun sebelumnya.
Kepulangan Hamka merupakan buah usaha dari kakak iparnya, Sutan Mansur. Sebelumnya, berkali-kali kerabat dan ayahnya berkirim surat meminta Hamka pulang.
Hamka pertama kali menerbitkan romannya untuk pertama kali dalam bahasa Minangkabau berjudul Si Sabariah.
Ia menunjukkan Si Sabariah pertama kali di depan ayahnya, Jamil Jambek, dan Abdullah Ahmad dengan membacakannya sewaktu mereka berkumpul dalam Rapat Besar Umat Islam di Bukittinggi pada Agustus 1928. Roman itu mulai disusunnya ketika di Medan.
Si Sabariah laris di pasaran, bahkan harus dicetak tiga kali. Hal ini melecut semangat Hamka untuk melakukan dakwah lewat tulisan.
Dari honor Si Sabariah, Hamka membiayai pernikahannya kelak. Setelah menikah, Hamka menulis kisah Laila Majnun yang dirangkai Hamka “dengan khayalannya” setelah membaca hikayat Arab “dua halaman”.
Pada 1932, Balai Pustaka, penerbit utama kala itu menerbitkan Laila Majnun dengan ketentuan perubahan ejaan dan nama tokoh. Penerimaan Balai Pustaka membesarkan hatinya dan memacunya untuk lebih giat lagi menulis dan mengarang.
Pada 1936, Hamka memelopori jurnalistik Islam di Medan. Ia memenuhi permintaan Muhammad Rasami, tokoh Muhammadiyah Bengkalis untuk memimpin Pedoman Masyarakat di bawah Yayasan Al-Busyra pimpinan Asbiran Yakub.
Pedoman Masyarakat merupakan majalah yang mengupas pengetahuan umum, agama, dan sejarah.
Majalah itu beroplah 500 eksemplar ketika terbit perdana pada 1935. Oplahnya melonjak hingga 4.000 eksemplar setelah Hamka menjadi pemimpin redaksi pada 22 Januari 1936.
Melalui kedudukannya sebagai pemimpin redaksi, Hamka menjalin hubungan intelektual dengan sejumlah tokoh pergerakan.
Pada Februari 1936, ia menyindir sikap pemerintah kolonial terhadap Hatta dan Sjahrir dengan mengasingkan mereka ke Boven Digul. Melalui Pedoman Masyarakat pula, Hamka untuk pertama kalinya memperkenalkan nama pena “Hamka”.
Hamka mengisi beberapa rubrik dan menulis cerita bersambung. Mengangkat masalah penggolongan dalam masyarakat Minangkabau berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan, ia menulis Di Bawah Lindungan Ka’bah. Balai Pustaka menerbitkan Di Bawah Lindungan Ka’bah pada 1938.
Setelah Di Bawah Lindungan Ka’bah, Hamka menulis Tenggelamnya Kapal Van der Wijck tentang percintaan antara Zainuddin dan Hayati yang terhalang adat dan berakhir dengan kematian.
Sejumlah pembaca Muslim menolak Tenggelamnya Kapal Van der Wijk. Menurut mereka, tidak pantas seorang ulama menulis roman percintaan. Ia pernah dijuluki kiai cabul.
Hamka membela diri lewat tulisan di Pedoman Masyarakat pada 1938. Ia menyatakan, tak sedikit roman yang berpengaruh positif terhadap pembacanya. Ia merujuk pada roman 1920-an dan 1930-an yang mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya pembedaan kelas.
Aktivis Muhammadiyah
Nama Hamka tidak bisa lepas dari Muhammadiyah. Ia memulai karir di kepengurusan menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah Padang Panjang dan merangkap sebagai pimpinan Tabligh School setingkat madrasah tsanawiyah yang diadakan Muhammadiyah.
Hamka turut menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo pada tahun 1929. Sejak itu, ia tidak pernah absen menghadiri Kongres Muhammadiyah berikutnya.
Di kongres itu, ia banyak berjumpa degan tokoh pimpinan Muhammadiyah, salah satunya adalah Fakruddin. Ia menyebut Fakhruddin sebagai salah seorang yang mempengaruhi jalan pikirannya dalam agama.
Kemudian pada Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi pada 1930, Hamka menyampaikan pidato tentang “Agama Islam dalam Adat Minangkabau”.
Pada kongres Muhammadiyah ke-20 tahun berikutnya di Yogyakarta, Malik menyampaikan pidato mengenai perkembangan Muhammadiyah di Sumatra. Pidato itu memukau banyak orang, bahkan tidak sedikit yang menitikkan air mata.
Pada 1931, usai membuka cabang Muhammadiyah di Bengkalis, ia dipercayakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mempersiapkan Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar.
Di Makassar, Hamka tidak berhenti berkarya. Ia mengeluarkan majalah Islam Tentera sebanyak empat edisi dan majalah Al-Mahdi sebanyak sembilan edisi.
Ia juga mendirikan mendirikan Tabligh School yang serupa di Padang Panjang. Menggantikan sistem pendidikan tradisional, Tabligh School menawarkan pola pendidikan baru secara modern dan sistematis dengan mengambil model pendidikan barat, tanpa melepaskan diri dari nilai-nilai agama.
Sepeninggal Hamka pada 1934,Tabligh School di Makassar diteruskan menjadi Muallimin Muhammadiyah di bawah asuhan Muhammadiyah.
Dari pergaulannya dengan masyarakat Makassar, ia mendapat inspirasi dalam menulis novelnya kelak, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Pada 1934, ia diangkat menjadi anggota Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatra Tengah yang meliputi Sumatra Barat, Jambi, dan Riau.
Karya
Hamka dikenal sebagai sosok sastrawan dan ulama yang produktif menulis. Karyanya tidak hanya tentang sastra, tetapi juga tentang sejarah dan tafsir. Berikut beberapa yang populer:
1. Di Bawah Lindungan Ka’bah
2. Tenggelamnya Kapal van der Wijck
3. Merantau ke Deli
4. Tuan Direktur
5. Terusir
6. Di Tepi Sungai Dajlah
7. Dari Perbendaharaan Lama
8. Sejarah Umat Islam
9. Tafsir Al Azhar