Dimanakah Keberadaan Kerajaan Jawa
Penulis : Asyam Shobir Muyassar Direktur Purbajati art Institute

Arah Baru – Sebagai orang Jawa zaman sekarang, kita semua harus jeli dan kritis dengan sejarah yang kita terima sekarang. Sekian lama dijajah oleh Bangsa Eropa, sangat mungkin keaslian informasi sejarah tentang bangsa dan Masyarakat kita, salah satunya tentang Kerajaan Jawa mengalami banyak pembelokan.
FAKTA BESAR
DI PULAU JAWA (YAVADVIPA) tidak pernah ada nama KERAJAAN JAWA.
Lah itu Majapahit, Singasari, Kediri, Mataram Kuno, Sunda, Padjajaran kan semuanya KERAJAAN JAWA karena ada di Pulau Jawa?
Bukan. Berbeda.
Majapahit, ya kerajaan Majapahit. Bukan Kerajaan Jawa.
Singasari, ya kerajaan Singasari. Bukan Kerajaan Jawa.
Padjajaran, ya kerajaan Padjajaran. Bukan Kerajaan Jawa.
Mataram Kuno, ya kerajaan Mataram. Bukan Kerajaan Jawa.
Sunda, ya Kerajaan Sunda. Bukan Kerajaan Jawa.
Lah tapi kan semuanya ada di Pulau Jawa?
Bukan.
Dahulu belum ada nama Pulau Jawa. Yang ada adalah Istilah YAVADVIPA (Pulau tanaman Jelai atau Pulau Jewawut). Dan di berbagai prasasti tak ada istilah Kerajaan Yavadvipa, yang ada Kerajaan Majapahit, Singasari, Padjajaran, Medang, Sunda, Kalingga dll.
Istilah Jawa baru ada setelah Orang Eropa datang ke Nusantara. Mereka menyebut YAVADVIPA menjadi Java. Oleh lidah kita kemudian jadi Jawa. Sama dengan istilah Batavia, orang di Batavia lalu oleh lidah kita disebut Betawi. Tapi salah kaprah bila menyebut Majapahit, Singasari, Kalingga, Medang dll sebagai Kerajaan Jawa. Karena di Pulau Jawa tak pernah ada Nama Kerajaan Jawa. Ada di Pulau Jawa pun kurang tepat disebut sebagai Kerajaan Jawa.
Logika sederhana
Ada kota namanya Jogja, warga di dalamnya disebut apa? ya disebut orang Jogja.
Ada kota Surabaya, warga di dalamnya disebut apa? ya disebut orang Surabaya.
Begitu juga :
Ada kerajaan Inggris, warga di dalamnya disebut apa? ya disebut orang Inggris (englishman).
Ada kerajaan Arab, warganya disebut apa? ya disebut orang Arab.
Ada Kerajaan Romawi, warganya disebut apa? Ya orang Romawi. Bukan orang Italia. Walaupun wilayah Romawi berpusat di wilayah yang sekarang jadi negara Italia.
Begitu juga dengan kerajaan Majapahit. Warganya disebut apa? ya disebut orang Majapahit juga lah. Bukan orang Jawa.
Kerajaan Medang, warganya disebut apa? ya disebut orang Medang. Bukan orang Jawa
Kerajaan Padjajaran, warganya disebut apa? Ya disebut orang Padjajaran. Bukan orang Jawa.
Begitu juga kerajaan Singasari, dan Kerajaan Sunda. Warganya disebut apa? ya orang Singasari dan Orang Sunda. Bukan orang Jawa.
Lalu Kerajaan Kalingga, warganya disebut apa? Ya disebut orang Kalingga. Bukan orang Jawa.
Karena istilah Orang Jawa (Wong Jowo/Suku Jawa) baru ada setelah Belanda datang, dan membagi-bagi manusia Indonesia ke dalam kelompok-kelompok suku bangsa menggunakan ilmu Antropologi dan Etnografi yang mereka bawa dari Eropa. Sebagian manusia yang disebut oleh Belanda sebagai Orang Jawa ini dibawalah ke Suriname.
Nah, kerajaan Majapahit, Singosari dan Medang ini seringkali diaku-aku sebagai kerajaanya punya orang Jawa (Wong Jowo), padahal bukan. Berbeda. Walaupun kerajaan-kerajaan itu berada di Pulau yang penduduknya hari ini bernama Wong Jowo atau Orang Jawa.
Sama dengan Romawi adalah kerajaanya milik orang Romawi. Bukan kerajaan milik orang Italia. Walaupun lokasi Romawi ada di wilayah yang penduduknya saat ini disebut sebagai orang Italia.
Hal ini karena tidak ada istilah orang Jawa (Wong Jowo) pada zaman Majapahit, Singosari dan Mataram Kuno. Nama Pulaunya pun zaman itu bukanlah Pulau Jawa, melainkan Yavadvipa.
Dan di YAVADVIPA tak pernah ada satupun Kerajaan bernama KERAJAAN JAWA / YAVA. Otomatis, jauh sebelum Belanda datang tak pernah ada yang namanya orang Jawa/wong Jowo yang merupakan warga Kerajaan YAVA/Jawa.
Yang ada di Pulau Yavadvipa hanyalah :
- Orang Majapahit (Warga kerajaan Majapahit)
- Orang Singasari (Warga Kerajaan Singasari)
- Orang Padjajaran (Warga Kerajaan Padjajaran)
4 .Orang Medang (Warga Kerajaan Medang)
- Orang Sunda (Warga Kerajaan Sunda)
- Orang Kediri (Warga Kerajaan Kediri)
- Orang Kalingga (Warga Kerajaan Kalinggga)
Penulis : Asyam Shobir Muyassar
Direktur Purbajati Art Institute