KontraS Aceh Tolak Pembangunan Batalyon, Sebut Langgar Semangat Perdamaian Helsinki

Arah Baru – KontraS Aceh menyatakan penolakan terhadap rencana pemerintah membangun empat Batalyon Teritorial Pembangunan (YTP) di wilayah Aceh, karena dinilai berpotensi mencederai semangat perdamaian yang telah disepakati bersama.
Kesepakatan damai tersebut termaktub dalam Perjanjian Helsinki tahun 2005, yang menjadi tonggak berakhirnya konflik bersenjata selama hampir 30 tahun di daerah itu.
Azharul Husna, Koordinator KontraS Aceh, menegaskan bahwa dalam MoU Helsinki secara jelas disebutkan pembatasan jumlah personel militer dan kepolisian di Aceh.
Disebutkan bahwa keberadaan pasukan militer aktif dibatasi maksimal 14.700 personel, sementara kekuatan kepolisian organik dibatasi hingga 9.100 personel saja.
Sebelum membahas rencana penambahan satuan militer baru, Husna menyarankan agar pemerintah terlebih dahulu melakukan audit jumlah personel TNI yang kini bertugas di Aceh, guna memastikan kesesuaian dengan komitmen damai yang telah disepakati.
“Penting bagi pemerintah untuk memonitoring apakah jumlah tersebut masih sesuai dengan kesepakatan, atau diduga malah sudah bertambah sejak lama,” tegas Husna, Rabu (7/15/2025).
Perjanjian Helsinki juga memuat ketentuan penting yang melarang pengerahan militer dalam jumlah besar pasca-penandatanganan. Menanggapi hal itu, KontraS Aceh menilai bahwa rencana pendirian empat batalion baru jelas melanggar prinsip-prinsip yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut.
“Artinya, rencana pembangunan empat bataliom ini dapat mengancam stabilitas perdamaian yang telah dijaga selama hampir 20 tahun di Aceh,” ungkapnya.
KontraS Aceh juga mengkritik kelambanan reformasi institusional di Aceh, khususnya dalam konteks keadilan transisi setelah berakhirnya konflik.
Proses ini dinilai masih jauh dari harapan, karena kurangnya transparansi dan jaminan bahwa pelaku pelanggaran HAM masa lalu tidak akan menempati posisi-posisi penting dalam struktur militer di Aceh.
“Tanpa itu, keadilan transisi di Aceh jelas melemah, karena pemerintah abai pada hak korban untuk mendapat jaminan ketidakberulangan,” jelas Husna.
Ekspansi Ranah Sipil
Dinas Penerangan Angkatan Darat dengan tegas mengklaim bahwa pembentukan batalyon teritorial bertujuan untuk mendukung pencapaian swasembada pangan.
Setiap batalyon nantinya akan dilengkapi dengan unit-unit yang meliputi kompi peternakan, pertanian, perikanan, dan kesehatan.
Batalyon-batalyon ini direncanakan akan dibangun di empat wilayah, yaitu Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil.
Namun, pernyataan ini mendapatkan kritikan karena keberadaan batalyon yang memiliki unit-unit tersebut malah berpotensi mengurangi peran penting yang seharusnya dijalankan oleh masyarakat sipil.
Azharul Husna, Koordinator KontraS Aceh, menilai bahwa seharusnya tugas-tugas tersebut dikelola oleh pihak sipil, dalam hal ini pemerintah daerah yang bertanggung jawab untuk menjalankan peran subordinasi.
Keberadaan batalyon yang memiliki fungsi-fungsi tersebut justru dianggap sebagai upaya untuk menghidupkan kembali konsep dwifungsi ABRI, yang kini dilihat sebagai bagian dari kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah saat ini.
“Kita punya Bulog, Dinas Pertanian, kelompok tani, dan lain-lain, yang memang ahlinya. Ada peran subordonasi di sana, sehingga solusinya bukan malah pembentukan batalion,” imbuhnya.
Menjadikan TNI sebagai alat negara dalam sektor-sektor tersebut dikhawatirkan berpotensi melanggengkan militerisasi sipil. Beleid ini berpeluang menciptakan ketegangan, tindakan represi, dan pelanggaran HAM.
“Penambahan pasukan perlu dipertanyakan. Jika alasan utamanya untuk ketahanan pangan, ini lebih tepat menjadi kewenangan sektor sipil, TNI tidak seharusnya mengambil alih tugas sipil,” tegasnya.
Keadilan Transisi Masih Jauh Panggang dari Api
Koordinator KontraS Aceh mengungkapkan bahwa proses keadilan transisi di Aceh masih sangat jauh dari penyelesaian.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh telah mengumpulkan lebih dari 6.000 kesaksian terkait pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh antara tahun 1976 dan 2005.
Namun, pemerintah belum menunjukkan tindak lanjut yang memadai untuk memenuhi hak-hak korban terkait kebenaran, pemulihan, dan rekonsiliasi.
Di sisi lain, meskipun Presiden Joko Widodo telah membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) pada tahun 2022, hasil yang diperoleh hingga kini belum memadai.
iga peristiwa pelanggaran HAM berat di Aceh, yaitu peristiwa Rumoh Geudong, Simpang KKA, dan tragedi Jambo Keupok, belum mendapatkan pemulihan yang komprehensif melalui program tersebut.
“Saat pemulihan konflik, pelibatan partisipasi bermakna dari komunitas korban, ditambah lagi keterbatasan rekomendasi tim PPHAM, maka keadilan transisi masih jadi pekerjaan besar belum tuntas hingga kini,” kata Husna.
Dengan segala persoalan di atas, menurut KontraS Aceh, rencana pemerintah untuk menambah pasukan militer justru kontraproduktif.
Langkah penambahan batalion baru ini berisiko memperburuk trauma bagi masyarakat Aceh yang belum pulih dari luka kekerasan dan pelanggaran HAM akibat konflik masa lalu.
“Sejarah panjang kekerasan oleh aparat keamanan, termasuk pembunuhan, penyiksaan, dan penghilangan paksa, masih membekas dalam ingatan kolektif masyarakat Aceh. Pembangunan batalyon baru bisa memicu trauma, juga ketidakpercayaan terhadap pemerintah saat ini,” pungkasnya.
Langkah Strategis Perkuat Pertahanan Wilayah
Pangdam Iskandar Muda, Mayor Jenderal TNI Niko Fahrizal, menyampaikan bahwa pembangunan empat batalyon baru di wilayah Kodam Iskandar Muda bertujuan untuk memperkuat pertahanan serta mempererat hubungan antara TNI dan masyarakat.
Dengan kehadiran satuan teritorial baru ini, diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap stabilitas keamanan dan mendukung pembangunan daerah setempat.
Niko juga menjelaskan bahwa pembangunan batalyon tersebut adalah bagian dari proses modernisasi dan distribusi kekuatan pertahanan negara secara bertahap dan terencana.
Kodam Iskandar Muda akan terus berkomitmen untuk mendukung program-program pertahanan yang terintegrasi dengan upaya pembangunan nasional.
Pernyataan ini disampaikan saat Niko menerima audiensi terkait pelaksanaan pembangunan batalyon teritorial di Balee Sanggamara Makodam Iskandar Muda.
Niko menegaskan bahwa Kodam IM siap mendukung setiap langkah dalam perencanaan dan pembangunan, serta berharap kerja sama antara pelaksana teknis proyek dapat berjalan dengan lancar, sesuai jadwal, dan memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pertahanan.
Sebagai informasi tambahan, rencana pembangunan batalyon di Pidie akan dikerjakan oleh PT Performa Trans Utama, di Nagan Raya oleh PT Kartika Bhaita, di Aceh Tengah oleh PT Rezeki Selaras Mandiri, dan untuk Aceh Singkil, pelaksana proyek adalah PT Teguh Karya Sejati.
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now