Laut Cina Selatan; Dilema Keamanan Filipina di Kawasan Asia-Pasifik
Arahbaru.com – Kawasan Asia-Pasifik merupakan kawasan yang sangat strategis secara ekonomi dan politik. Sebagai negara kepulauan di Asia Tenggara, Filipina berada pada posisi strategis tersebut.
Namun, lokasi strategis ini juga menimbulkan tantangan keamanan yang kompleks dan berimplikasi signifikan terhadap stabilitas dan keamanan Filipina, yang menyebabkan dilema keamanan.
Dilema keamanan itu sendiri adalah situasi di mana negara terjebak dalam ketakutan akan potensi ancaman dari negara lain, sehingga mereka meningkatkan kemampuan pertahanannya untuk memastikan keamanannya sendiri.
Namun hal ini dapat diartikan sebagai tindakan agresif oleh negara lain, yang kemudian bereaksi dengan cara yang sama, meningkatkan ketegangan dan konflik. Laut Cina Selatan merupakan salah satu kawasan yang rentan akan konflik di Kawasan Asia-Pasifik, karena banyak negara terutama negara besar memiliki kepentingan, yang di mana kepentingan masing-masing negara tersebut terutama antara negara-negara besar seperti Cina dan Amerika Serikat saling berseberangan sehingga rentan terjadi konflik di antara keduanya.
Hal itu yang membuat Filipina menarik di antara negara-negara Asia-Pasifik lainnya yang memiliki dilema keamanan, karena Filipina memiliki hubungan ketergantungan dengan dua negara besar tersebut, di mana kedua negara memiliki kepentingannya masing-masing di kawasan ini, dan berusaha untuk memberikan pengaruhnya.
Laut Cina Selatan sendiri merupakan sebuah wilayah laut yang menghubungkan samudra Hindia dengan samudra Pasifik dan menjadi rute transportasi laut paling ramai serta strategis di dunia.
Laut Cina Selatan sendiri menyimpan banyak sekali sumber daya alam, seperti minyak, gas, ikan, dan mineral. Hal ini jelas mengapa wilayah ini menjadi rebutan dan di klaim banyak negara dan menjadi sumber konflik di kawasan Asia-Pasifik.
Tuntutan atau klaim yang diberikan oleh negara-negara di Kawasan Asia-Pasifik atas Laut Cina Selatan merupakan hal yang kompleks dan sangat sensitif saat ini.
Klaim atas wilayah Laut Cina Selatan kebanyakan hanya berdasarkan alasan sejarah, hukum, atau adat, di mana hal tersebut tidak sesuai dan bertentangan dengan hukum internasional, khususnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Sehingga hal tersebut yang menyebabkan banyak sengketa atas Laut Cina Selatan yang dapat mengancam stabilitas dan perdamaian regional maupun global.
Filipina memiliki ketergantungan dengan wilayah Laut Cina Selatan ini, di mana Laut Cina Selatan ini merupakan jalur yang strategis dan besar. Di mana Sebagian besar barang ekspor dan impor melewati jalur ini. Selain itu, Laut Cina Selatan sangat berpengaruh terhadap keamanan nasional Filipina, karena 9 garis putus-putus (Nine-Dash Line) yang di klaim oleh Cina berbatasan langsung dengan Filipina, di mana di sekitar wilayah tersebut sudah dibangun pangkalan militer Cina.
Namun, jika melihat Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) tahun 1982, Filipina memiliki hak berdaulat atas sebagian besar wilayah perairan di Laut Cina Selatan, namun tidak diindahkan oleh Cina.
Klaim yang dilakukan Cina jelas dapat mengancam keamanan nasional Filipina, di mana kedaulatan dan integritas wilayah Filipina, khususnya di Kepulauan Spratly yang diklaim oleh Cina dan beberapa negara lain. Selain itu juga terhadap ekonomi, di mana Laut Cina Selatan (LCS) menyimpan banyak sekali sumber daya alam yang dapat bermanfaat bagi masyarakat Filipina, namun karena klaim Cina menjadi sulit untuk manfaatkannya. Selain itu dapat mengganggu stabilitas dan kerja sama regional Filipina, terutama dengan negara-negara ASEAN dan mitra strategis lainnya.
Cina telah melakukan Tindakan yang mengganggu bahkan hingga membahayakan kapal-kapal Filipina yang beroperasi di wilayah tersebut. Seperti penjaga pantai Cina yang menembakkan meriam air ke kapal nelayan Filipina. Tindakan yang dilakukan jelas melanggar hukum internasional yang kedua negara sudah ratifikasi. Membuat ketegangan antar kedua negara ini semakin meningkat.
Diakibatkan Cina mengklaim seluruh wilayah Laut Cina Selatan sedangkan Filipina hanya sebagian, yakni Kepulauan Spratly dan Scarborough Shoal yang berada di dekat pantai barat.
Tindakan sudah banyak dilakukan oleh kedua negara, seperti mengirim kapal perang masing-masing, melakukan patroli udara, dan membangun pangkalan militer. Amerika Serikat pun tidak tinggal diam, mereka membantu sekutunya untuk menentang ekspansi yang dilakukan Cina.
Selain mengirim kapal perang ke wilayah yang Filipina klaim, Filipina juga sudah membawa sengketa ini ke Permanent Court of Arbitration (PCA) pada tahun 2013, yang menggugat klaim historis Cina. Di mana pada tahun 2016, keputusan PCA mengabulkan gugatan yang diajukan Filipina dan menyatakan klaim historis Cina tidak memiliki dasar hukum.
Namun, Cina menolak keputusan tersebut dan justru terus meningkatkan tekanan militer dan diplomatik terhadap Filipina dan negara-negara lain yang berseberangan dengan kepentingannya di wilayah tersebut. Filipina juga melakukan kerja sama dengan ASEAN, APEC, ARF, EAS, dan RCEP, selain untuk kepentingan ekonomi juga sebagai upaya menghadapi konflik Laut Cina Selatan dan menjaga stabilitas di Kawasan.
Filipina mengalami dilema keamanan karena posisinya yang rentan dan memiliki hubungan sejarah dan kultural yang kuat yang erat dengan AS, yang juga merupakan mitra pertahanan utama dan sumber bantuan ekonomi dan militer bagi negara tersebut.
Selain itu, AS juga menawarkan jaminan keamanan bagi Filipina melalui Perjanjian Pertahanan Bersama (MDT) yang ditandatangani pada tahun 1951, yang menyatakan bahwa serangan terhadap salah satu pihak akan dianggap sebagai serangan terhadap pihak lain.
Perjanjian ini membuat Filipina sangat bergantung dengan AS terkait keamanan negaranya. Di mana beberapa waktu lalu juga Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. mengizinkan AS untuk membangun pangkalan militernya di 4 wilayah di Filipina, di mana salah satu wilayahnya menghadap langsung ke Laut Cina Selatan, hal ini jelas memperlihatkan bagaimana ketergantungan Filipina terhadap AS untuk mendapatkan keamanan dari ancaman Cina.
Selain itu, beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada 2021, kedua negara ingin melakukan peninjauan kembali terkait perjanjian MDT tersebut, yang membuat Cina khawatir. Akan tetapi, di tengah keadaan geopolitik yang tidak jelas, Filipina juga memiliki hubungan ekonomi yang penting dengan Cina, yang merupakan mitra dagang terbesar dan sumber investasi bagi negaranya.
Usaha untuk melerai dan mengurangi ketegangan dilakukan AS dengan mengirim kapal-kapal perang ke negara sekutunya, termasuk Filipina. Namun keadaan ini membuat Filipina berada di tengah rivalitas geopolitik di kawasan Asia-Pasifik.
Di mana AS merasa negaranya perlu untuk menjaga stabilitas dan keamanan di kawasan Asia-Pasifik, sedangkan Cina merasa wilayah Asia-Pasifik merupakan kawasan kepentingan strategisnya, sehingga dengan AS membantu negara di kawasan Asia-Pasifik itu mengganggu dan mengancam kepentingan Cina.
Sehingga Filipina perlu berhati-hati dalam menjaga keseimbangan hubungan dengan AS dan Cina, karena jika salah ambil tindakan akan berdampak bagi kepentingan nasionalnya. Apabila Filipina terlalu dekat dengan AS juga dapat memicu kemarahan dari China, yang berpotensi meningkatkan tekanan terhadap klaim Filipina di Laut Cina Selatan, atau bahkan tindakan militer.
Namun, jika Filipina terlalu menjauh dari AS, Filipina berisiko kehilangan jaminan keamanan dan dukungan, atau bahkan ditinggalkan oleh AS dalam situasi konflik dengan Cina. Oleh karena itu, Filipina harus menemukan cara untuk menjaga kerja sama dan dialog dengan kedua negara tersebut tanpa mengorbankan kedaulatan dan kepentingan nasionalnya.
Sehingga menurut penulis yang Filipina dapat lakukan adalah mengambil sikap aktif dan proaktif dalam mengatasi dilema keamanannya. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat kerja sama dengan negara-negara sekutu yang memiliki kepentingan bersama dalam menjaga stabilitas dan perdamaian regional. Lalu, Melakukan dialog dan berkonsultasi dengan negara-negara tetangga yang sama-sama terlibat dalam sengketa wilayah di Laut China Selatan, khususnya China.
Dialog ini harus tetap berdasarkan pada hukum internasional serta menghormati hak-hak dan kedaulatan masing-masing pihak.
Selanjutnya, yang harus dilakukan adalah meningkatkan kapasitas pertahanan nasional dengan mengalokasikan anggaran yang memadai, memodernisasi alutsista, dan meningkatkan kesiapan personel, dan mengembangkan doktrin pertahanan yang sesuai dengan ancaman dan tantangan yang dihadapi agar mendorong partisipasi masyarakat sipil dalam proses pembangunan perdamaian dan keamanan, yang nantinya dapat berperan sebagai agen perubahan sosial, dan pengawas pemerintah.(*)
Ditulis Oleh : Azhar Fuad Nugraha (Mahasiswa Hubungan Internasional, UIN Syarif Hidayatullah Jakarat)