Masokisme Politik

Arahbaru – Tulisan masokisme politik ini tidak untuk menilai keberadan suatu kelompok atau lembaga, namun sekedar berbagi literasi politik kontemporer yang relevan saat ini.
Perilaku politik yang berlari atau menghindari diri dari sesuatu hal yang penuh ketidakpastian sering diistilahkan dengan masokisme politik. Istillah ini genrenya berasal dari seorang novelis Austria bernama Leopold vonSacher-Masoch. Lahir di Lemberg tanggal 27 Januari 1836 dan meninggal pada tanggal 9 Maret 1895.
Dalam perkembangannya, Freud menggunakan istilah ini untuk menunjukkan kelainan fundamental dari perilaku kehidupan manusia. Tetapi Fromm memandang masokisme dengan cara berbeda, baginya masokisme bagian dari mekanisme melarikan diri dari kebebasan yang menjanjikan pembebasan dari ketidakpastian sekaligus ketidakberdayaan untuk menyatakan eksistensi diri.
Mengapa? karena sebagian elite politik menciptakan ikatan-ikatan politik yang dapat memberikan rasa aman, tertib dan tentunya mendatangkan berbagai keuntungan serta kemudahan hidup. Bilamana terancaman kenyamanan, maka masokisme itu akan terjadi secara sendirinya.
Masokisme dalam pandangan ini mengakomodir ketidakberdayaan dalam term-term yang luas dan berlaku dalam setiap lapisan masyarakat, tidak terkecuali mereka yang langsung berhubungan dengan ekonomi, politik dan ideologi.
Eksistensi penyesuaian yang diupayakan merupakan pintu masuk kepada debarkasi antara sikap personal dengan kepercayaan masyarakat akar rumput yang akan “ditukar” dengan legitimasi baik individual, kelompok ataupun lembaga-lembaga yang mampu menampung energi ideologis pelakunya.
Sebagai konsekuensi, individu harus rela ketika ikatan-ikatan primer, sekunder, baik dalam wujud lembaga politik maupun lembaga sosial meminta balasan untuk legitimasi dan cultur broker.
Ketidakberdayaan tidak berhenti dalam aspek lembaga politik dan pelakunya saja. Namun juga ditemukan aspek tatanan sosial formal seperti tidak jarang ketika seleksi lembaga-lembaga publik dan politik yang mengatur tentang pemilu, persaingan perusahaan, penyiaran, korupsi, dan HAM, warna-warna keorganisasian lebih kuat daripada warna-warna kebijaksanaan dan kemandirian tim penyeleksinya sendiri.
Ini semua menjelaskan bahwa perilaku ketidakberdayaan dasarnya adalah kehilangan kepercayaan diri dalam suatu sistem, tanpa mampu bersikap rasional dan tidak tegas. Paling tidak, tiga karakter dasar yang ditunjukan dengan jelas dalam sosok masokis politik, yakni: ketidakberdayaan politik, ketidakpercayaan diri dan ketidakkekuasaan mengendalikan aktivitas dalam politik.
Ketidakberdayaan dalam lingkup politik membawa individu tenggelam dalam arus politik tanpa mampu bersikap rasional dalam politik. Ketidakpercayaan diri dalam politik juga merupakan akibat dari ketidakmampuan diri membuat individu tidak bisa tegas berpendapat dalam politik. Terakhir, ketidakkekuasaan sebagai cerminan bahwa kekuasaan hanya milik segelintir orang dan anak masokis tidak pantas memilikinya.
Pelaku Masokisme politik (perilaku tidakberdaya, perilaku tidakpercaya diri, perilaku ketiadkekuasaan), hanya akan menjadikan institusi politik, baik berupa partai politik maupun lembaga moral forces, ditinggalkan oleh masyarakat dalam setiap lapisannya. Apalagi bila perilaku politik berpaling diri tersebut hanya didadasarkan atas pertimbangan-pertimbangan thematis semata, seperti menjelang Pemilu Legislatif yang hanya beberapa bulan lagi.
Memang tidak ada yang melarang perilaku “oligarchi pelembagaan politik”, namun sikap ini akan sangat merugikan mainstream komitmen dari separtai politik dalam sistem perwakilan elite menuju keterwakilan popular demokratik. Tidak pada masanya lagi sebuah partai politik mengandalkan kekuatan primordialism, birokrasi dan personafikasi, dan kebangsawanan.
Namun, kehidupan sebuah partai politik saat ini, harus sudah dibangun dari pilar-pilar kebenaran ideologi perjuangannya, kepercayaaan dan kesungguhan memperjuangkan harapan dan cita-cita masyarakat serta kekuatan konsolidasi kepartaian.
Istillah partai kekurangan kader adalah salah-satu faktor yang menyuburkan perilaku pindah partai, selain itu banyak lagi fakor-faktor non tematis, seperti popularitas kelembagaan partai, kejelasan isu-isu baru yang menjadi platfom partai, hubungan kekerabatan (etnisitas) dominan dalam distrik tertentu.
Bukannya tanpa resiko bagi sebuah partai politik, menerima prilaku politik masokisme, paling tidak konflik internal sudah menghadang didepannya. Bila konflik internal tidak menemui jalan lurus, sudah barang tentu partai bersangkutan akan menuai protes dari pendukung.
Maraknya persoalan pergeseran distrik caleg dan nomor urut caleg menjelang Pemilu Legislatif 2009, salah-satu faktor penyebabnya adalah masuknya caleg yang “window for suddenly ” tanpa melalui proses penjaringan dan prosedur ketat oleh kelembagaan partai.
Bila perilaku loncat pagar terus-menerus diakomodir oleh kelembagaan partai melalui berbagai macam jalur dan cara hanya untuk memenuhi target perolehan suara serta berbagai keuntungan dibalik itu semua, perlahan namun pasti akan terbentuk state of main negatif dalam masyarakat terhadap penilaian partai dan caleg yang berbuat demikian.
Masyarakat kehilangan ketauladanan, kebanggaan dan kepercayaan akibat sikap kelembagaan partai yang mengusung caleg-caleg loncat pagar, partai tidak menjaga dan memelihara mekanisme konsolidasi partai yang dibangun, malah sebaliknya mengelabuhi komitmen konsolidasi dan kepercayaan konstituennya.
Paling tidak, masyarakat dalam tingkatan apapun dapat memberikan penilaian terhadap perilaku politik yang sering loncat pagar maupun sikap partai yang mengakomodir perilaku tersebut dan menjadikannya jurkam ataupun calon legislatif.
Dari sisi pelaku loncat pagar akan nampak bahwa mereka telah melakukan suatu sikap yang inkonsisten dengan ideologi partai sebelumnya. Apapun alasannya ideologi sebuah partai merupakan harga mati yang harus diperjuangkan. Karena terkait dengan sikap pilihan dan perubahan kea arah yang lebih baik, kebijakan dan kesungguhan perjuangan. Meskipun dalam kenyataannya ideologi partai lebih sering tumbuh dan berkembang searah dengan perilaku pemimpin dan sikap primordialisme yang ada dalam kepartaian tersebut.
Selanjutnya masyarakat akan menilai bahwa caleg loncat pagar sebuah cermin perilaku sosial yang lemah komitmen dan advokasi pembelaan kepentingan masyarakat. Sangat sulit bagi mereka untuk mengedepankan realisasi dari harapan dan cita-cita masyarakat. Masyarakat hanya akan mendengarkan statemen-statemen hiburan semata tanpa pernah ada yang nyata.
Sudah banyak contoh individu-individu yang kebetulan duduk sebagai anggota dewan terkait masalah korupsi yang besar tanpa pernah sebelumnya masyarakat menduga bahwa mereka telah melakukan hal demikian, atau memanfaatkan keanggotaannya untuk mendapatkan proyek-proyek APBN/D, atau ikut mengatur juga dalam jabatan tertentu yang nota benenya masyarakat tidak penah mengerti dan tahu bahwa hal itu sumber pemasukan yang juga besar.
Di sini komitmen ketauladanan dan moralitas yang ditunggu masyarakat dari para caleg adalah tanggung jawab, dan sulit didapat bila calegnya berasal dari caleg loncat pagar.
Barangkali munculnya caleg loncat pagar akibat adanya kecendrungan baru kelembagaan partai politik tidak hanya instrument demokrasi dalam sebuah negara bangsa, namun juga sebagai public servant yang di dalamnya terkait dengan berbagai urusan kehidupan masyarakat, ketertiban, perekonomian, kebijakan, pengawasan, leadership, kewargaan. Kesemuanya itu banyak melibatkan kepentingan-kepentingan, baik individu, kelompok, koorporat, lembaga bahkan pemerintah.
Bila dulu partai berbicara hanya lewat keterwakilan di legeslatif, saat ini partai sudah memiliki bargaining power meskipun tidak ada wakil di legislatif. Alhasil kelembagaan partai dianggap sebagai instrument penciptaan tenaga kerja untuk menghaslkan basic needs dan mendapatkan privilege.
Sikap loncat pagar menjelang pemilu legislatif merupakan cermin buram golongan elitis yang mencoba kembali membangun loopholes (kesulitan-kesulitan) bagi kelompok lain termasuk estafeta generasi guna mempertahankan pengaruh, kekuasaan dan keuntungan lainnya.
Sikap akomodatif partai terhadap caleg loncat pagar akan berisiko juga, antara lain masyarakat khususnya konstituen akan merasa tidak dihargai dan kehilangan rasa bangga terhadap kelembagaan partai terutama keterlibatan mereka yang diatur dalam konsolidasi kepartaian menjadi tidak ada maknanya sama sekali.
Komitmen dan kebenaran partai akan ideologi perjuangan juga akan dipertanyakan berulang-ulangkali oleh pendukungnya. Akibatnya akan tercipta polarisasi pendukung yang akan berujung saling klaim. Hal ini akan mempertebal ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebenaran dan keseriusan partai memperjuangkan nasib mereka.
Kenyataan hasil pilkada selalu menunjukan angka golput dikisaran 25-40%, tidak hanya disebabkan kesemerawutan penyelenggaraannya, namun juga kepercayaan masyarakat terhadap perilaku kelembagaan partai dan yang terlibat di dalamnya. Partai dihadapkan pada persoalan kepercayaan masyarakat, dan sekaligus persoalan polarisasi pendukungnya.
Apa mungkin sebuah partai mampu menyiapkan isu-isu terobosan baru yang terprogram sistematis, liberatif dan humanis, bila problem utamanya berhadapan dengan kepercayaan dan polarisasi yang berkepanjangan akibat mesin konsolidasi yang disia-siakan sendiri?
Kita hanya mendapatkan statemen-statemen individual yang dijadikan program partai tanpa melalui prosedur ketat, elaborasi kontekstual dan sangat sulit direalisasikan. Akhirnya partai yang mau menerima caleg loncat pagar harus bersiap-siap menuai ketidakpercayaan masyarakat, arah komitmen sosial dan politik yang dipertanyakan, program yang isu-isunya tidak baru bersifat individual, konsolidasi yang tidak berharga lagi, disia-siakan oleh pendukungnya sendiri.
Dalam situasi menjelang pemilihan umum, formasi politik oligarchi menguat dan sentimen terhadap otokritik divonis sebagai sesuatu yang dyadic terhadap stabilitas partai. Tidak mengherankan oligarchisisasi berakibat elite-elite idealis partai membentuk partai baru yang sering beralaskan kekecewaan dan tidak sevisi lagi. Kekawatiran kita terhadap penguatan politik oligarchi sesungguhnya pada proses berkembangnya demokrasi. Jangan sampai demokrasi hanya terjebak dalam prosedural semata. Bila demikian yang terjadi, sudah barang tentu antara politik oligrachi dan politik dinasti akan menjadi pemenang sesungguhnya.
Dalam berbagai definisi oligarki partai adalah segelintir elit partai yang mendominasi, menguasai, dan atau menggunakan kekuatan partai secara non-demokratis untuk maksud dan tujuan memperoleh, mempertahankan, dan atau melipatgandakan kekuatan politik, ekonomi, dan sosialnya.
Sementara politik dinasti adalah strategi dan taktik suatu keluarga inti dalam memperoleh, mempertahankan, dan atau melipatgandakan kekuasaan politik, ekonomi, dan sosialnya dengan cara menggunakan kekuatan partai secara non-demokratis untuk menjadi peserta pemilu dalam rangka menduduki suatu jabatan politik puncak.
Sisi lainnya adalah dinasti politik adalah keluarga inti yang menduduki suatu jabatan politik puncak melalui pemilu dengan cara non-demokratis dengan maksud dan tujuan memperoleh, mempertahankan, dan atau melipatgandakan kekuasaan politik, ekonomi, dan sosialnya.
Sementara apa yang disebut sebagai hak politik warga negara adalah hak setiap warga negara untuk terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam proses politik seperti pembuatan kebijakan serta keputusan politik, pemilihan pejabat politik, dan lain-lain; akan masuk dalam keranjang utopinis. Hak politik warga negara ada sejak kelahirannya atau setelah menjadi warga negara dan tidak boleh dicabut oleh siapapun dan dengan alasan apapun termasuk oleh negara sendiri.
Pembatasan penggunaan hak politik warga negara hanya jika hanya dimaksudkan untuk meningkatkan kedaulatan rakyat (demokrasi) melalui konstitusi di luar alasan meningkatkan kualitas demokrasi merupakan tindakan anti-demokrasi. Karena itu, menggunaan kekuatan partai secara non-demokratis untuk menjadi peserta pemilu guna memperoleh, mempertahankan, dan atau meraih kekuasaan politik, ekonomi, dan sosialnya merupakan argumen dasar mengapa politik dinasti dan partai oligarchi dipandang bertentangan dengan demokrasi.
Penulis: Dr. Mohammad Syawaludin – Dosen UIN Raden Fatah Palembang/ Cendikiawan Nahdhotul Ulama Sumsel
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now