Media Arahbaru
Beranda Opini Meritokrasi Desa

Meritokrasi Desa

Rembulan masih malu-malu menyapa, udara malam yang sejuk khas pedesaan perlahan menyergap tubuh. Aku duduk di beranda rumah, tempat yang selalu punya cara untuk membuat dunia terasa lebih ramah. Di depanku, secangkir kopi hitam mengepul tipis, aromanya beradu dengan aroma kandang kambing yang tak jauh dari rumah.

“Aroma surga kah ini?” batinku sambil memulai seduhan pertama.

Tak lama, dia muncul-Gholi (nama samaran), sahabat sekaligus tetangga yang sering menjadi teman ngobrol jika saya pulang ke desa. Tak seperti biasanya, nada bicaranya lebih berat. Dia bercerita tentang tawaran untuk menjadi perangkat desa. Namun tawaran itu ia tolak lantaran harus menyediakan uang dua ratus juta.

Seminggu sebelumnya, orang suruhan Pak Lurah (sebutan Kepala Desa) datang menemui Gholi. Orang tersebut menyampaikan bahwa Mbah Mudin (sebutan perangkat desa yang bertugas dalam urusan keagamaan) akan segera pensiun, dan sebagai orang jebolan pesantren dan telah lalu lalang memberi ceramah di surau-surau desa, Gholi dianggap paling mumpuni menggantikan posisi Mudin Desa, terang orang suruhan Pak Lurah. Ia juga menambahkan, bahwa sekurang-kurangnya, Gholi harus menyediakan uang 200 juta untuk syukuran dan tanda terima kasih kepada Lurah, Camat, dan Bupati.

Mendengar cerita Gholi, aku pun terdiam dan sesekali menyeruput kopi untuk mengusir kegusaran atas ketidakberesan pengelolaan desa. Apakah mungkin desa dituntun untuk menerapkan prinsip meritokrasi? Tentu sangat mungkin, nyatanya sudah banyak desa yang sadar dan berhasil dengan menerapkan prinsip good governance yang ditopang dengan kompetensi dan kecakapan para perangkat desa.

Urgensi meritorkasi desa

Meritokrasi adalah sistem sosial dan politik yang memberikan penghargaan dan posisi berdasarkan kemampuan, prestasi, dan kinerja individu, bukan berdasarkan faktor-faktor seperti kelas sosial, kekayaan, atau koneksi keluarga. Dalam sistem meritokrasi, individu yang memiliki bakat, keterampilan, dan dedikasi terbaik diberikan kesempatan untuk menduduki posisi-posisi penting dalam masyarakat atau organisasi.

Sebagai sistem yang mengutamakan kemampuan dan prestasi individu, meritokrasi memiliki peran penting dalam mendorong keadilan dan kemajuan sosial, terutama di lingkungan seperti pemerintahan desa di Indonesia. Dalam konteks desa, meritokrasi dapat memastikan bahwa individu yang menjabat sebagai perangkat desa dipilih berdasarkan kompetensi, seperti kemampuan mengelola anggaran desa atau merancang program pembangunan, bukan karena hubungan kekerabatan atau dukungan politik.

Namun, penerapan meritokrasi di desa sering terhambat oleh norma budaya lokal dan keterbatasan akses terhadap pendidikan, yang menciptakan ketimpangan peluang. Di banyak desa, pengisian jabatan perangkat desa (seperti sekretaris desa, kaur, atau kadus) sering kali masih dipengaruhi oleh faktor non-merit seperti hubungan kekerabatan, kedekatan dengan kepala desa, atau loyalitas politik, bukan berdasarkan kompetensi atau kinerja. Selain itu, di daerah terpencil, jumlah kandidat dengan pendidikan atau keterampilan memadai sangat terbatas, sehingga sulit menerapkan standar meritokrasi yang ketat.

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa tidak secara eksplisit mengatur penerapan meritokrasi dalam pengelolaan aparatur pemerintahan desa. Fokus regulasi lebih kepada otonomi desa dan pengelolaan dana desa, bukan pada sistem rekrutmen berbasis kompetensi. Padahal untuk mengoptimalkan pengelolaan dana desa dan otonomi desa, diperlukan kualitas perangkat desa yang handal dan kompeten. Oleh karenanya, meritokrasi desa menjadi penting untuk diterapkan.

Untuk mewujudkan meritokrasi dalam pemerintahan desa di Indonesia, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis yang mengatasi tantangan budaya, keterbatasan sumber daya manusia, dan kurangnya pengawasan.

Pertama, pemerintah kabupaten atau provinsi harus menetapkan regulasi yang mewajibkan seleksi terbuka dan transparan untuk jabatan perangkat desa, dengan kriteria kompetensi yang jelas, seperti tingkat pendidikan, keterampilan manajerial, dan pengalaman kerja.

Kedua, program pelatihan dan pendidikan harus digalakkan untuk meningkatkan kapasitas warga desa, memungkinkan mereka bersaing secara meritokratis, terutama di daerah terpencil dengan akses pendidikan terbatas.

Ketiga, pengawasan ketat oleh inspektorat daerah atau lembaga independen diperlukan untuk mencegah praktik nepotisme dan politik transaksional dalam pemilihan kepala desa atau pengangkatan perangkat desa.

Seperti yang pernah diungkapkan oleh Michael Young, pencetus istilah meritokrasi, “Meritokrasi yang sejati membutuhkan struktur yang menghilangkan hambatan kesempatan, bukan hanya mengukur prestasi” (Young, 1958). Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat desa tentang pentingnya memilih pemimpin berdasarkan kompetensi, bukan kekerabatan atau popularitas, harus dilakukan secara masif untuk mengubah paradigma budaya lokal. Dengan langkah-langkah ini, pemerintah dapat menciptakan ekosistem meritokrasi yang adil dan mendukung pembangunan desa yang lebih efektif.

* Penulis adalah Dosen Muda di Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang(*)

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

error: Content Dilindungi Undang Undang Dilarang Untuk Copy!!