Media Arahbaru
Beranda Gaya Hidup Studi Ungkap Dampak Negatif Makanan Ultra-Proses pada Kesehatan Mental

Studi Ungkap Dampak Negatif Makanan Ultra-Proses pada Kesehatan Mental

Arah Baru – Apa yang kita makan setiap hari tidak hanya memengaruhi tubuh, tetapi juga kondisi mental kita. Hal ini diungkapkan oleh Profesor Neurobiologi dari Stanford, Andrew Huberman.

“Gagasan bahwa apa yang kita makan dapat memengaruhi suasana hati dan kesehatan mental kita bukanlah hal yang mengejutkan,” terangnya dikutip dari Hindustan Times, Jumat, 25 April 2025.

“Namun, baru-baru ini, penelitian ilmiah dan klinis menunjukkan hubungan kuat antara mengonsumsi makanan olahan dan gangguan kesehatan mental. Perubahan pada mitokondria kemungkinan jadi penghubung antara kedua faktor ini,” sambungnya.

Bersama psikiater Chris Palmer dari Harvard, Huberman menjelaskan bahwa berbagai penelitian menunjukkan bahwa makanan dengan sedikit proses pengolahan lebih bermanfaat bagi kesehatan mental dibandingkan makanan yang diproses secara berlebihan.

“Tentu saja hasil seperti ini bersifat korelatif. Ada banyak masalah gaya hidup yang mungkin menyertai konsumsi makanan olahan atau penghindaran makanan semacam itu,” katanya.

Palmer menjelaskan bahwa konsumsi makanan ultra-proses, seperti fast food, dapat merugikan kesehatan fisik dan mental. Ia mengutip penelitian yang melibatkan lebih dari 300 ribu orang, yang mengungkapkan adanya hubungan langsung antara konsumsi makanan tersebut dengan kondisi kesehatan mental yang memburuk.

“Di antara mereka yang mengonsumsi makanan ultra proses setiap hari, beberapa kali sehari, 58 persen melaporkan kesehatan mental yang buruk,” katanya.

Analisis Pilihan Makanan

Beberapa tahun yang lalu, sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Open Network mengungkapkan bahwa konsumsi makanan ultra-proses dapat meningkatkan risiko depresi. Peneliti dari Brigham and Women’s Hospital serta Harvard T.H. Chan School of Public Health menganalisis pola makan dan kaitannya dengan kesehatan mental pada lebih dari 31 ribu wanita berusia antara 42 hingga 62 tahun.

Menurut laporan dari New York Post data tersebut diperoleh dari Studi Kesehatan Perawat II yang berlangsung antara 2003 hingga 2017.

Setiap peserta mengisi kuesioner terkait pola makan setiap empat tahun, yang mencatat apakah mereka mengonsumsi makanan ultra proses (UPF) atau tidak. UPF kemudian dibagi menjadi sembilan kategori.

  • makanan biji-bijian ultra proses;
  • makanan ringan manis;
  • makanan siap saji;
  • lemak dan saus;
  • produk susu ultra proses;
  • makanan ringan gurih;
  • daging olahan;
  • minuman, dan;
  • pemanis buatan.

“Makanan ultra proses adalah makanan yang mengandung banyak bahan pengawet, bahan penggembur atau pembentuk gel, serta pewarna dan perasa buatan,” kata ahli gizi diet yang terdaftar di Charlotte, North Carolina yang berpraktik sebagai The Lupus Dietitian, Tanya Freirich.

Makanan Ultra Proses

Para peneliti menggunakan dua pendekatan untuk menilai kesehatan mental peserta, yaitu:

  • Definisi ketat yang memerlukan depresi yang dilaporkan sendiri, didiagnosis oleh dokter, dan penggunaan antidepresan secara teratur.
  • Definisi luas yang memerlukan diagnosis klinis dan/atau penggunaan antidepresan, sebagaimana dinyatakan dalam artikel jurnal.

Para peneliti mempertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kemungkinan terjadinya depresi, seperti usia, berat badan, tingkat aktivitas fisik, kebiasaan merokok, kualitas tidur, adanya rasa sakit kronis, konsumsi alkohol, pendapatan, serta kondisi medis yang dimiliki.

“Pemanis buatan diketahui mempengaruhi otak melalui jalur yang berbeda dibandingkan pemanis alami, seperti gula atau madu,” kata Frierich seraya mencatat bahwa diperlukan lebih banyak penelitian di bidang ini. Mereka yang memiliki asupan UPF tertinggi memiliki peningkatan risiko depresi sebesar 34 persen hingga 49 persen, demikian temuan studi tersebut.

Faktor Penentu Depresi

Frierich mengatakan, dia tidak terkejut dengan temuan secara keseluruhan. “Banyak penelitian telah mendokumentasikan hubungan antara beberapa bahan tambahan makanan dan kanker, perubahan hormonal, penambahan berat badan, dan kesehatan mental kita,” katanya pada Fox News Digital.

Meskipun penelitian ini melibatkan sampel yang besar, tingkat tindak lanjut yang tinggi, dan menggunakan metode penilaian pola makan yang canggih, para peneliti mengakui adanya beberapa keterbatasan. Sebagian besar peserta penelitian adalah wanita kulit putih non-Hispanik.

Selain itu, penelitian ini dilakukan secara observasional tanpa melibatkan wawancara klinis yang terstruktur. Karena sifatnya yang observasional dan bukan penelitian terkontrol, Frierich menambahkan, masih belum ada bukti yang memastikan bahwa makanan ultra proses adalah penyebab utama depresi.

“Studi prospektif seperti ini hanya meneliti hubungan antara UPF dan kondisi mental,” kata Frierich. “Mungkin seseorang yang mengonsumsi sebagian besar makanannya karena UPF tidak memiliki akses terhadap makanan segar di lingkungannya.”

“Mungkin mereka melakukan beberapa pekerjaan dan tidak punya waktu untuk memasak, atau merawat orang yang dicintai dan mengorbankan perawatan diri mereka sendiri,” pungkasnya.

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

error: Content Dilindungi Undang Undang Dilarang Untuk Copy!!