Media Arahbaru
Beranda Opini Tanggung Jawab Pimpinan KPK dan Obstruction of Justice dalam Kasus Harun Masiku

Tanggung Jawab Pimpinan KPK dan Obstruction of Justice dalam Kasus Harun Masiku

Penulis: Moh. Akil Rumaday, S.IP., S.H., M.H. – Praktisi Hukum dan Anggota Perhimpunan Advokat Indonesia

Sudah empat tahun Harun Masiku berstatus buron setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan pada tahun 2020. Harun diduga menyuap eks Komisioner KPU saat itu agar dapat ditetapkan sebagai anggota DPR.

Namun, sejak Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK terhadap Wahyu Setiawan dan sejumlah pihak lain pada 8-9 Januari 2020, hingga saat ini, penangkapan terhadap Harun Masiku masih menjadi misteri. Bahkan menjelang akhir masa jabatan Pimpinan KPK pada Desember 2024, belum ada kejelasan terkait tertangkapnya Harun Masiku.

Kenyataan ini memunculkan banyak pertanyaan dan diskusi di kalangan masyarakat serta para praktisi hukum. Mengapa Harun Masiku, yang sudah buron selama empat tahun, belum juga ditemukan oleh KPK?

Belum tertangkapnya Harun Masiku adalah tanggung jawab Pimpinan KPK periode 2019-2024. Tanggung jawab ini sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, serta Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi RI Nomor 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK.

Dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK, dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas: b. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) orang Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi; dan ayat (2) Susunan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari: a. ketua merangkap anggota; dan b. wakil ketua terdiri dari 4 (empat) orang, masing-masing merangkap anggota. Dan ayat (4) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat kolektif kolegial.

Selain ketentuan yang telah diatur dalam UU KPK tersebut di atas mengenai pimpinan KPK, ketentuan lebih lanjut secara terperinci diatur dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi RI Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam Pasal 4 ayat (2) Komisi Pemberantasan Korupsi dipimpin secara kolektif kolegial oleh seorang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua.

Disebutkan juga pada ayat (3) Pimpinan mempunyai tugas antara lain: a. merumuskan, menetapkan kebijakan, dan Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; b. pelaksanaan bimbingan teknis atas pelaksanaan tugas pemberantasan korupsi pada jajaran struktur Komisi Pemberantasan Korupsi; pelaksanaan koordinasi dan pemantauan pelaksanaan tugas Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; c. pelaksanaan koordinasi dan pemantauan pelaksanaan tugas Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; d. pelaksanaan pengawasan dan pembinaan atas pelaksanaan tugas pemberantasan korupsi pada jajaran struktur Komisi Pemberantasan Korupsi; dan e. meningkatkan peran serta masyarakat, badan usaha dan kerja sama internasional dalam pemberantasan korupsi.

Dengan demikian ketententuan sebagaimana tersebut di atas, menunjukkan bahwa peran dan tanggung jawab serta kewenangan yang dimiliki oleh Pimpinan KPK dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi memiliki kedudukan strategis dan fundamental baik pada aspek pencegahan dan juga dalam aspek penindakan tindak pidana korupsi.

Oleh karena itu, dengan segala upaya KPK haruslah segera menangkap Harun Masiku. Bila tidak, maka peristiwa tidak tertangkapnya Harun Masiku merupakan kegagalan rezim Pimpinan KPK periode 2019-2024 dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di negeri ini. Selain itu juga menunjukkan bahwa tersangka Harun Masiku bukanlah orang sembarangan melainkan selama proses pelariannya mendapat support dari pihak-pihak lain.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah pihak-pihak yang mendukung Harun Masiku selama pelariannya dapat dikenakan pasal Obstruction of Justice?

Sebelum menjelaskan penerapan pasal dan unsur-unsur delik Obstruction of Justice, penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan Obstruction of Justice. Obstruction of Justice atau penghalang keadilan dapat dimaknai sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghalangi proses hukum tindak pidana korupsi

Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa, “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama dua belas tahun, dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 dan paling banyak Rp600.000.000,00.”

Rumusan yang terdapat pada pasal tersebut di atas bila di perinci, maka unsur-unsur tindak pidananya yaitu sebagai berikut:

  1. Setiap orang;
  2. Dengan sengaja;
  3. Mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.

Berdasarkan rumusan pasal di atas, subyek hukum yang dapat dimintakan tanggungjawab dari rumusan pasal tersebut adalah setiap orang.

Dalam kaitan dengan segi ancaman pidana sanksi penjara, dirumuskan secara minimum khusus yakni paling singkat tiga tahun dan paling lama dua belas tahun. Hal yang sama juga mengenai pidana denda, terlihat bahwa dirumsukan secara minimum khusus yakni pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”

Mengacu pada karakteristik kasus ini serta latar belakang Harun Masiku, dibutuhkan keseriusan dari Pimpinan KPK untuk menangkap Harun Masiku dan menetapkan tersangka terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pelarian dan persembunyiannya. Berdasarkan bukti yang ada melalui pemeriksaan saksi-saksi, sangat mungkin KPK akan menetapkan tersangka baru terkait pelaku Obstruction of Justice. Jika tidak, peristiwa ini akan menjadi catatan kelam dalam sejarah pemberantasan korupsi oleh Pimpinan KPK periode 2019-2024.

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan

error: Content Dilindungi Undang Undang Dilarang Untuk Copy!!