Buruk Muka Pertamina, Cermin Tetangga Dibelah
Arahbaru.com | Kebakaran yang terjadi di Depo Pertamina Plumpang pada Jumat, 3 Maret 2023 lalu meninggalkan duka mendalam. Data terakhir, 19 orang meninggal akibat kebakaran hebat. Kita tentu harus bersimpati akibat adanya kecelakaan ini.
Meski begitu, tetap perlu dilakukan investigasi, agar penyebab terjadinya kebakaran di depo tersebut bisa diungkap sejelas-jelasnya dan seterang-terangnya. Kita tahu, ini bukan kali pertama kebakaran terjadi di sebuah depo bahan bakar minyak milik Pertamina.
Sejak 2021, setidaknya sudah terjadi enam kali kebakaran hebat di depo BBM Pertamina. Keenam kebakaran tersebut adalah Depo Balongan (29 Maret 2021), Cilacap (11 Juni 2021), Cilacap (13 Novomber 2021), Balikpapan (4 Maret 2022), Balikpapan (15 Mei 2022), dan terakhir Plumpang (3 Maret 2023).
Pertanyaannya adalah mengapa kebakaran di depo bisa terjadi secara rutin. Setiap tahun terjadi kebakaran di depo-depo Pertamina. Apakah tidak ada standar prosedur operasi atau SOP dalam menjalankan depo-depo tersebut. Mengapa kecelakaan bisa terjadi sesering itu. Ini pertanyaan pertama.
Kedua adalah tentang pendekatan dan penanganan warga terdampak. Dalam kasus kebakaran di Depo Plumpang, seorang keluarga korban mengaku didatangi orang yang mengaku dari PT Pertamina. Pihak dari Pertamina tersebut memberikan uang kerahiman Rp10 juta kepada keluarga korban, tapi disodori surat yang berisi ketentuan tidak menggugat PT Pertamina.
Bagaimana sebuah perusahaan sebesar PT Pertamina, yang selama ini mengaku menjalankan program CSR dengan baik, tapi pendekatan kepada warga yang berbatasan dengan area kerja perusahaan seperti itu? Sangat tidak punya empati dan tidak manusiawi.
Di tengah upaya penanganan kecelakaan dan kebakaran ini, justru muncul isu untuk mengalihkan beban dari Pertamina. Bagaimana caranya? Pertama adalah menyalahkan warga, kedua menyalahkan Anies Baswedan.
Di media sosial kita melihat akun-akun yang dikenal sebagai buzzer menyerang warga dan menyatakan bahwa mereka tinggal di tanah ilegal. Kedua, menyalahkan Anies Baswedan yang mengizinkan warga tinggal di area tersebut.
Tuduhan pertama, tentu saja tak perlu ditanggapi. Sudah pasti itu tuduhan yang sangat keji dan tak punya empati. Ada orang tertimpa musibah, malah dituding salah. Padahal, harusnya siapa pun orangnya berempati. Bila memungkinkan mengulurkan tangan. Bila tidak, cukup dengan diam.
Tuduhan kedua, hal tersebut terasa aneh. Sebab, Anies memberikan IMB sementara agar warga Tanah Merah di dekat Depo Plumpang bisa mendapatkan hak dan akses pelayanan publik. Sebelum Anies menjabat Gubernur DKI, warga sudah punya KTP dan banyak diantaranya dikeluarkan di masa Gubernur Joko Widodo. Anies hanya meneruskan kebijakan tersebut.
Terasa janggal, seolah-olah ada satu gerakan dari buzzer yang menyerang Anies Baswedan, padahal jelas-jelas kecelakaan terjadi karena Pertamina tidak menerapkan standar kerja dan keamanan yang baik.
Pertanyaan berikutnya, siapa yang menggerakkan buzzer tersebut? Tak mungkin mereka melakukan secara probono alias tak berbayar. Tapi, saya tak ingin menyebut pihak-pihak yang kemungkinan besar membayar para buzzer. Tapi kita tahu, siapa orang-orang yang ada di belakang buzzer tersebut.
Melihat kasus kecelakan dan kebakaran di Plumpang ini, kita melihat bahwa buruk muka Pertamina, sayangnya justru cermin tetangga yang coba dibelah. Terlalu. Cara cuci tangan yang tidak elegan dan merendahkan nilai kemanusiaan.