Perpu Cipta Kerja, dari Pembangkangan Konstitusi hingga Peluang Pemakzulan

Daftar isi:
Arahbaru – Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Perpu Cipta Kerja itu ditandatangani pada 30 Desember 2022 sebagai alat untuk menggatikan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja sendiri telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan harus diperbaiki paling lambat selama dua tahun.
Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan penerbitan Perpu itu dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak.
Ia mengatakan Perpu Cipta Kerja diterbitkan untuk mengantisipasi kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik.
“Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik yang terkait dengan ekonomi, kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi,” ujar Airlangga.
Sementara itu Menko Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD, sebagaimana dilansir dari Tirto, mengatakan alasan dikeluarkan Perpu Cipta Kerja karena alasan mendesak sebagaimana putusan MK Nomor 138/PUU/VII/2009.
Setidaknya ada tiga alasan penerbitan Perpu ini, di antaranya mendesak, kekosongan hukum, dan upaya memberikan kepastian hukum.
“Oleh sebab itu pemerintah memandang ada cukup alasan untuk menyatakan bahwa diundangkannya Perpu Nomor 2 Tahun 2022 ini didasarkan pada alasan mendesak,” kata Mahfud dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Jumat (30/12/2022).
Pembangkangan Konstitusi
Penerbitan Perpu Cipta Kerja mendapat kritik dari banyak pihak. Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur menyebut penerbitan Perppu Cipta Kerja merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi.
Selain itu, penerbitan Perpu ini menunjukkan gejala otoritarianisme pemerintahan Jokowi.
“Penerbitan Perppu ini jelas bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap konstitusi RI, dan merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo,” kata Ketua YLBHI M. Isnur
Sementara itu Ahli Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar melalui kanal Youtube menyebut alasan kegentingan untuk menerbitkan Perpu terkesan mengada-ada.
Ia menyebutkan, misanya pada kasus perang Ukraina dan Rusia. Menurut Zainal, perang ini sudah sangat lama dan hal ini menandakan pemerintah tidak antisipatif.
“Jadi ini kan sebaliknya, kita bisa mengatakan kemana aja lo selama ini, selama ini ngapain,” kata Zainal.
Zainal mengatakan pemerintah telah menerobos prinsip demokrasi, dalam hal ini adalah partisipasi publik, dengan dalih kedaruratan.
Selanjutnya, ia menyebut penerbitan Perpu ini agak lucu karena sebagian besar isinya mengulang apa yang ada dalam UU Cipta Kerja.
Ia pun mengingatkan ihwal UU Cipta Kerja ini bahwa MK memberikan waktu dua tahun kepada DPR untuk memperbaikinya.
“Jangan lupakan, MK memutuskan UU Cipta Kerja itu dikasih waktu dua tahun dan kita sudah makan waktu 13 bulan tanpa melakukan apa-apa terhadap UU Cipta Kerja,” ungkapnya.
Ia pun menyebut penerbitan Perpu Cipta Kerja telah mengangkangi putusan MK.
“Kalau kita baca baik-baik putusan MK, putusan MK mengatakan begini, UU Cipta Kerja itu salah satunya adalah ia kehilangan konstitusionalitas secara formal karena tidak melibatkan publik. Luar biasanya pemerintah malah pilih cara yang sama sekali tidak melibatkan publik,” tegasnya
Zainal menegaskan hal ini seperti hanya main-main saja. Menurutnya ini adalah penghinaan terhadap MK dan putusan peradilan.
Buka Peluang Pemakzulan
Penerbitan Perpu Cipta Kerja disinyalir membuka peluang pemakzulan terhadap Jokowi. Hal tidak lepas dari anggapan bahwa penerbitan Perppu tersebut tidak menghormati putusan MK terkait UU Cipta Kerja.
Anggota DPD RI asal Sulawesi tengah Abdul Rachman Thaha menyebut Perpu Cipta Kerja disusun dengan mengabaikan prinsip kehati-hatian, kepentingan yang obyektif, pelibatan rakyat, hingga rasionalisasi yang bertanggung jawab terhadap putusan MK.
Ia mengatakan seandainya DPD RI mempunyai kewenangan lebih, ia akan mengambil inisiatif pemakzulan itu.
“Andai DPD punya kewenangan lebih, percayalah, saya, Abdul Rachman Thaha, yang akan mengambil inisiatif pemakzulan itu,” kata dia.
Sementara anggota DPD RI asal DKI Jakarta Jimly Asshiddiqie, sebagaimana dilansir dari Republika, mengatakan bahwa penerbita Perpu Cipta Kerja ini melanggar prinsip negara hukum.
Menurut Jimly, jika serius ingin memperbaiki UU Cipta Kerja, pemerintah masih memiliki waktu tujuh bulan. Perbaikan tersebut sekaligus dapat membuka ruang partisipasi publik yang berarti dan substansial sesuai amar putusan MK.
Ia menegaskan, terbitnya Perpu Cipta Kerja justru menunjukkan rule of law yang kasar dan sombong. Jika berkaca pada pernyataan sikap delapan fraksi di DPR terkait sistem proporsional tertutup, bukan tidak mungkin terbuka peluang untuk memakzulkan Jokowi.
“Kalau sikap partai-partai di DPR dapat dibangun seperti sikap mereka terhadap kemungkinan penerapan sistem proporsional tertutup, bisa saja kasus pelanggaran hukum dan konstitusi yang sudah berkali-kali dilakukan oleh Presiden Jokowi dapat diarahkan untuk impeachment,” ujar Jimly.