Sandra Dewi Dalam Pusaran Korupsi Harvey Moeis
Penulis: Moh. Akil Rumaday, S.IP., S.H., M.H. – Advokat dan Aktivis Hukum Pidana Korupsi
Berdasarkan perspektif hukum dan dalam kaitannya dengan substansi hukum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwasanya korupsi dirumuskan ke dalam (30) tiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi.
Pasal-Pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.
Ketigapuluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi tersebut adalah sebagai berikut, yaitu: Pasal 2; Pasal 3; Pasal 5 ayat (1) huruf a; Pasal 5 ayat (1) huruf b; Pasal 5 ayat (2); Pasal 6 ayat (1) huruf a; Pasal 6 ayat (1) huruf b; Pasal 6 ayat (2); Pasal 7 ayat (1) huruf a; Pasal 7 ayat (1) huruf b; Pasal 7 ayat (1) huruf c; Pasal 7 ayat (1) huruf d; Pasal 7 ayat (2); Pasal 8; Pasal 9; Pasal 10 huruf a; Pasal 10 huruf b; Pasal 10 huruf c; Pasal 11; Pasal 12 huruf a; Pasal 12 huruf b; Pasal 12 huruf c; Pasal 12 huruf d; Pasal 12 huruf e; Pasal 12 huruf f; Pasal 12 huruf g; Pasal 12 huruf h; Pasal 12 huruf i; Pasal 12B jo. Pasal 12C; dan Pasal 13.
Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang dengan penyuapan manipulasi dan perbuatan-perbuatan melawan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara/perekonomian negara, merugikan kesejahteraan rakyat (Rusli Muhammad, 2019).
Sedangkan penyebab Tindak Pidana Korupsi ialah perilaku korupsi berkembang apabila pegawai-pegawai mempunyai kekuasaan monopoli terhadap klien, apabila setiap pegawai mempunyai banyak kewenangan bertindak, dan apabila pertanggungjawaban setiap pegawai terhadap atasan lemah. Rumus persamaan yang berlaku ialah: Korupsi: Monopoli+Kewenangan Bertindak-Pertanggungjawaban (Robert Klitgaard, 2005).
Adapun menurut Penulis bahwa penyebab tindak pidana korupsi yang terjadi dikarenakan beberapa hal yaitu: pertama, menipisnya moral dan integritas dalam kehidupan keseharian.
Kedua, realitas sebagian masyarakat yang tidak mengetahui makna korupsi dan juga didukung oleh pelaksanaan sistem pemerintahan yang tidak terawasi dan transparan yang kemudian berdampak terhadap pemberantasan korupsi.
Ketiga, lemahnya substansi hukum tindak pidana korupsi yang menjangkau para pelaku yang mempunyai kekuasaan dominan dan juga terdapat intervensi dalam penyelesaian kasus oleh pihak yang berkepentingan.0
Dan keempat, kurangnya komitmen negara dalam hal ini pihak eksekutif dan legislatif untuk merumuskan undang-undang tindak pidana korupsi yang lebih efektif dan optimal dalam memberantasnya.
Kaitan dengan kasus yang menggegerkan masyarakat Indonesia pada beberapa waktu belakangan ini tentu Penetapan Tersangka oleh Kejaksaan Agung RI terhadap Tersangka HM yang merupakan Suami dari Sandra Dewi.
Kasus tersebut mendapat perhatian dari Publik dikarenakan kerugian negara mencapai angka bombastis yakni mencapai Rp271.069.688.018.700 atau Rp271 Triliun.
Kasus yang melibatkan suami dari Sandra Dewi yaitu HM merupakan kasus yang bentuk atau jenis tindak pidana korupsinya ialah berkaitan dengan Kerugian Keuangan Negara.
Berdasarkan Konferensi Pers oleh Kejaksaan Agung RI pada tanggal 27 Maret 2024, HM disebut menemui Direktur Utama PT. Timah pada tahun 2018 sampai dengan tahun 2019 untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar.
Setelah pertemuan tersebut, akhirnya disepakati dan diakamodir pertambangan liar tersebut. Selanjutnya dicover sewa menyewa peralatan pengjerjaan pertambangan liar tersebut. Selanjutnya Tersangka HM menghubungi pihak PT SIP, PT SIS untuk ikut serta dalam kegiatan dimaksud.
Atas kegiatan dimaksud, Tersangka HM meminta kepada PT. SIP dan PT. SIS untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan untuk diserahkan kepada Tersangka HM. Dari peristiwa tersebut, Tersangka HM mendapat keuntungan transferan melalui PT. QSIE yang difasilitasi oleh Tersangka ARR.
Perbuatan Tersangka HM melanggar ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Perbuatan dari Tersangka HM dan pihak-pihak dalam kasus ini sangatlah merugikan terhadap keberlangsungan hidup masyarakat secara luas, disamping itu juga, perilaku koruptif tersebut tentu secara langsung menguntungkan bagi yang melakukannya, para pihak atau golongan tertentu yang saling berafiliasi.
Bahkan korupsi yang dilakukan terjadi di berbagai sektor antara lain dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan, dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga itu sendiri.
Hal demikian tentu merupakan sebuah bencana dan menjadi faktor penghambat dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik serta lebih produktif.
Kaitan dengan kasus ini, tentu penerapan pasal yang disangkakan kepada Tersangka HM yang merupakan Suami dari Sandra Dewi sudahlah tepat.
Pertanyaan hukumnya adalah apakah Sandra Dewi mengetahui bahwa perbuatan suaminya merupakan suatu tindak pidana korupsi,? dan apakah Sandra Dewi berpotensi menjadi tersangka dan harus pula ditahan?
Bila dikaji secara seksama, peran dari Tersangka HM tidak saja dilakukan secara tunggal melakukan tindak pidana korupsi. Namun melibatkan sebagian besar pihak-pihak lain yang tentunya akan ada penetapan tersangka pada beberapa waktu yang akan datang.
Hal ini dapat terlihat dari total Saksi yang diperiksa atau dimintakan keterangan adalah berjumlah 148 Saksi dan sudah beberapa yang semula dari saksi yang telah dinaikan statusnya menjadi Tersangka tentu dengan bukti yang cukup.
Kalau kita bicara mengenai konsep hukum pidana korupsi, maka tidak terlepas dari unsur-unsur dalam pasal tersebut, minimal ketentuan unsur subyek hukum dan konsep pertanggungjawaban pidananya.
Oleh karena itu, menurut hemat Penulis pada aspek norma hukum, ketika seseorang yang mengetahui bahwa uang dan harta yang dinikmatinya merupakan sesuatu yang bersumber dari kejahatan korupsi ataupun sumber pendapatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan disaat bersamaan, orang tersebut tidak menanyakan atau berusaha mendapatkan informasi mengenai asal perolehannya.
Maka sudah barang tentu seseorang yang menggunakan uang dari hasil kejahatan tindak pidana korupsi dapat dimintai pertanggungjawaban Pidana sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagimana dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu “Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan norma hukum pasal tersebut, maka ketika Tersangka HM ditahan oleh Kejaksaan Agung, maka patut diduga bahwa istri dari HM yaitu Sandra Dewi mestinya dimintai pertanggungjawaban pidana karena diduga bersama-sama sebagai penerima dan menikmati hasil dari tindak pidana korupsi tersebut, baik perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja maupun kealpaan.
Selanjutnya kaitan dengan ketentuan Pidana Penjara 5 (lima) tahun atau lebih sebagaimana ketentuan Pasal 21 ayat 4 huruf a KUHAP, maka seseorang yang diduga melakukan atau menikmati hasil dari kejahatan korupsi tersebut mestinya dimintai pertanggungjawaban hukum dan ditahan berdasarkan ketentuan KUHAP tersebut. (*)